PRAGMATISME DALAM PANDANGAN ILMU AGAMA

Pragmatisme-Dalam-Pandangan-Ilmu-Agama
https://id.wikipedia.org/wiki/Kantianisme

Pendahuluan

Pada kira-kira tahun 1890 dimulailah suatu zaman yang baru, yang dalam banyak hal berbeda dengan zaman yang mendahuluinya, tetapi yang masih ada juga kesinambungannya. Abad ke-20 masih juga dijiwai oleh pandangan bahwa cara yang paling baik untuk menemukan kebenaran di bidang filsafat adalah cara yang dengan sadar meninggalkan apa yang telah dapat disumbangkan oleh para pemikir yang terdahulu di bidang itu. Dengan demikian sifat individualistis yang telah tampak pada abad ke-19 menjadi berlarut-larut sehingga sukar sekali untuk mengerti pangkal pemikir para ahli pikir itu.

Pada umumnya pada bagian pertama abad ke-20 terdapat bermacam-macam aliran yang berdiri sendiri-sendiri dan yang terdapat di bermacam-macam negara. Masing-masing menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat di sekitarnya. Pada zaman parohan pertama abad ke-20 umpamanya terdapat aliran pragmatisme di Amerika dan Inggris. Di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempatnya yang tersendiri di dalam pemikiran filsafati. William Jameslah orangnya yang memperkenalkan gagasan-gagasan pragmatisme itu kepada dunia. 

Pembahasan

Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme merupakan istilah yang sudah tersebar dan diketahui secara luas. Pragmatisme mempunyai akar kata dari bahasa Yunani, pragmatikos dan dalam bahasa Latin pragmaticus. Arti harafiah pragmatikos adalah “cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, perkara Negara, dan dagang”. Kata tersebut dalam bahasa inggris pragmatic yang berarti “berkaitan dengan hal-hal praktis atau sejalan dengan aliran filsafat pragmatisme. Karena itu, pragmatisme dapat berarti sekedar pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal. Hasilnya dapat dimanfaatkan langsung berhubungan dengan tindakan, bukan spekulasi atau abstraksi. Akan tetapi, pragmatisme juga dapat berarti aliran filsafat.  Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pragmatisme ialah (a) kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb.) bergantung pada penerapannya bagi kehidupan manusia. (b) paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus. (c) pandangan yang memberi penjelasan yang berguna untuk suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. 

Menurut Harun Hadiwijono pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermafaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Di mana aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya asal bermanfaat bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat. Demikianlah patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.  Kebenaran itu haruslah memiliki penyelesaian masalah. Sesuatu itu dikatakan benar jika tanggapan atau ide membawa ke dalam penyelesaian masalah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme memberikan ukuran kebenaran berdasarkan hasil dalam penyelesaian masalah.  Lain halnya dengan Lorens Bagus yang mengatakan bahwa pragmatisme ialah Aliran yang tersebar luas dalam filsafat modern. Pragmatisme merupakan inti filsafat pragmatik dan menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaan prakstis bukan pengakuan kebenaran yang objektif dengan kriterium praktik, tetapi apa yang memenuhi kepentingan-kepentingan subjektive individu. 

Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatisme ialah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal. Hasilnya dapat dimanfaatkan langsung berhubungan dengan tindakan, bukan spekulasi atau abstraksi, dapat memberi penjelasan yang berguna untuk suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. Pragmatisme juga merupakan suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermafaat secara praktis. Di samping itu juga pragmatisme ialah Aliran yang tersebar luas dalam filsafat modern.

Lahir dan Berkembangnya Pragmatisme

Istilah pragmatisme pertama-tama dipakai oleh



Immanuel Kant. Kant yang memberi nama “keyakinan-keyakinan pragmatis” untuk tingkat keyakinan Hipotesis tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu. Lahirnya pragmatisme diawali dengan adanya perdebatan antara Realisme, Idealisme, Empirisme dan Rasionalisme. Perdebatan ini pada dasarnya dilandasi oleh pemikiran bagaimana fungsi atau peran filsafat dihadapkan dengan fungsi manusia. Bagaimana filsafat dapat dirasakan pengaruhnya dan dapat menjawab permasalahan yang dihadapi manusia, khususnya manusia modern pada zaman ini. Demikianlah pada abad ke-19 kehidupan modern di Amerika ditandai oleh gairah untuk melahirkan sesuatu yang konkret dan praktis bagi kehidupan manusia yang berorientasi pada efisiensi dan manfaat. 

Dalam sejarahnya, pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914) , filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Berkeley dan Hume. Bila pragmatisme disangkutkan dengan empirisisme, kiranya sangkutan itu memang besar, maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada banyak filosof besar lainnya, satu diantaranya tentu saja John Locke. Selain itu, tidak mudah membedakan pragmatisme dengan utilitarianisme. Karena kedua ini sama-sama menekankan kegunaan, maka pengusutan pengertian pragmatisme seharusnya kembali kepada John Stuart Mill (1806-1873), anak tokoh besar James Mill. Orang terakhir ini adalah kawan dekat Jeremy Bentham, seorang Utilitarianis.  Dalam perkembangan lebih lanjut pragmatisme berjalan dalam tiga jurusan yang berbeda, artinya: sekalipun semuanya berpangkal dari satu gagasan asal, namun bermuara dalam kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya ketiganya adalah sama yaitu menolak segala intelektualisme dan absolutisme, serta meremehkan logika formal. Para wakil dari ketiga jurusan itu adalah William James dan John Deweys, keduanya dari Amerika Serikat, serta F.C.S. Schiller dari Inggris. 

Pragmatisme: Pandangan Para Tokoh

1. William James (1842-1910) 

William James adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia. Lebih dari itu, ia merupakan orang Amerika pertama yang memberikan kontribusi ke dalam gelombang dasyat pemikiran filsafat di dunia Barat. Karena terbitnya bukunya, pragmatism (1907) dan The meaning of Truth (1909), gerakan pragmatisme meluncur seolah-olah akan menguasai filsafat abad ke-20. Pragmatisme lebih banyak disangkutkan dengan James dari pada Peirce sekalipun James berhutang banyak pada Peirce dalam mengembangkan pragmatisme sebagai suatu metode. James memang berbeda dengan Peirce, dia telah mengubah atau memanusiakan konsep pragmatisme yang asli yang diambilnya dari Peirce itu.  Ia juga mengatakan bahwa secara ringkas pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang diketahui. Peircelah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “tentukan apa akibatnya, apa yang dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut”. Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis konsep itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa. 

Pragmatisme James bersifat Voluntaristis, penekanannya pada pentingnya faktor usaha dan kesukarelaan dalam keputusan dalam memperjelas sesuatu. Di samping itu pragmatisme James adalah sesuatu cara antiintelektual, sementara Peirce tidak. Peirce memasukkan penggunaan logika dan obyektivitas ilmiah dalam metodenya. Sedangkan James sebaliknya memasukkan keyakinan individu. Peirce membatasi pragmatismenya semata-mata pada suatu teori tentang pengertian, sementara itu James menganggap bahwa selain itu, pragmatisme juga perlu mengambil sikap tentang kebenaran. Yang terpenting ialah Peirce membatasi daerah kerja pragmatisme pada hal-hal yang semata-mata mengenai pengertian rasional, sementara James menggunakan pragmatisme dalam kehidupan dan menjadikannya dapat dipakai, baik pada seseorang maupun pada nilai-nilai manusiawi di dalam agama dan moral. James memang selalu mencoba menghubungkan filsafat dengan kehidupan. Ia melihat filsafat pragmatisme akan banyak gunanya bagi kehidupan. William James adalah empirisis yang radikal atau empirisis yang pragmatis. Kepribadiannya pandangannya tentang manusia memerlukan suatu filsafat yang dapat berlaku adil pada perasaan keagamaan, moral dan kepentingan manusia terdalam. Ia memerlukan suatu filsafat yang pantas yang dapat menghadapi kenyataan secara terus terang. Ia mencurigai sistem filsafat yang murni intelektual atau yang mengaku benar secara absolute. Filsafat yang tidak selesai serta tidak absolute, itulah filsafat yang diakuinya, tetapi filsafat itu harus menyertai kehidupan manusia dan masa depannya. Filsafat harus membantu manusia menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memberikan kepada manusia harapan yang optimistis dalam kehidupan yang vital. 

2. John Dewey 

Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pemahaman ini dipengaruhi oleh pemahaman kaum Hegelianisme tentang perkembangan pengalaman. Kaum Hegelian ini juga mempengaruhi pandangan Dewey dalam pemahamannya mengenai konsep sejarah dan metode dialog yang dikembangkannya dalam teori-teorinya tentang pendidikan sekolah.  Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.  

Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial.  Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.  Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna.  Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.

Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pemikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Jadi yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Dalam rangka pandangan ini maka yang benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan tidak boleh diganggu-gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang dianggap benar pada dasarnya dapat berubah. 

Persepsi Pragmatisme

1. Manusia

Manusia macam apa yang lazim disebut pragmatis? Manusia pragmatis adalah manusia yang sanggup untuk bertindak, yang tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul, melainkan secara nyata berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Manusia pragmatis dalam menghadapi kebakaran misalnya, tidak akan berdebat panjang lebar tentang cara penanggulangan kebakaran mana yang paling sesuai dengan manusia seutuhnya, melainkan segera akan memanggil dinas pemadam kebakaran, kemudian berusaha untuk sekedar membatasi amukan api. Manusia pragmatis adalah manusia yang masih cukup manusiawi untuk tidak melupakan kebutuhan nyata orang-orang demi teori-teorinya.  Hubungan manusia merupakan keutamaan manusia memiliki kebebasan, pilihan, keterbukaan, tujuan dan kemajuan untuk menentukan apa yang menjadi keinginannya. Melalui pengalaman, manusia dimungkinkan untuk berkembang dan memperoleh kemajuan karena semua ini merupakan cita-cita yang mendasar dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk mengolah kenyataan dunia. Oleh karena itu, peran manusia sangat penting karena apa yang dilakukan dan dihasilkan manusia merupakan usaha dan keputusannya sendiri. Manusia merupakan sesuatu yang lebih menakjubkan dan lebih mengerikan dibanding dengan yang lainnya, yaitu manusia memiliki kekuatan untuk membuat diri mereka dan dunia sekitar mereka lebih baik atau lebih buruk. 

2. Tuhan

Pragmatisme mempercayai tentang keberadaan Tuhan. Tuhan menurut ajaran mereka senantiasa bersifat pengasih dan penyayang. Tuhan tidak mengatur kehidupan manusia, tetapi apa yang diperoleh manusia akibat dari apa yang diperoleh manusia itu sendiri. Pragmatisme senantiasa menerima keberadaan Tuhan dalam berbagai kondisi. Kehadiran Tuhan dalam diri manusia mampu memberikan manfaat kepadanya melalui kepuasan batin yang diperoleh manusia bila manusia memperoleh manfaat atau kebahagiaan dalam hidup mereka. Pragmatisme menganggap manusia telah memperoleh anugerah dari Tuhan. Apabila manusia menghadapi kegagalan, maka kesalahan terletak pada manusia itu sendiri.  Pragmatisme bahkan akan memilih Tuhan yang hidup dalam fakta pribadi yang paling buruk sekalipun, jika memang di sana ada tempat untuk menemukan Tuhan. 

Selama tahun 1890-an ia menerbitkan banyak tulisan yang bercorak pragmatis dan karya psikologi yang memuaskan perhatian pada pahamnya itu. The Will to Believe yang terbit pada tahun 1896 dengan jelas memperlihatkan sifat humanistis dalam pemikirannya. Di sini ia sependapat dengan Peirce bahwa kepercayaan harus dipahami dalam kerangka tindakan. Keyakinan adalah pragmatis menurut Peirce dan James, merupakan idea yang padanya bersedia untuk bertindak. Bagi James kepercayaan bukanlah sekedar aturan-aturan bertindak atau idea yang dengannya siap untuk bertindak. Melainkan sesuatu yang berguna di dalam membuat sesuatu terjadi dalam membuat sesuatu pasti benar. Ia mengatakan bahwa:

Keinginan pada sesuatu yang sungguh-sungguh benar harus menimbulkan kebenaran khusus yang sungguh-sungguh ada, dan itu banyak sekali macamnya. Siapa yang ingin memperoleh kemajuan, anugerah, tetapi melihat kehidupan sebagai suatu hipotesis, lalu meremehkannya, mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang belum tentu datang lalu mengambil resiko untuk sesuatu yang diharapkan pada masa mendatang, tentu tidak akan memperoleh yang diinginkannya itu.

Hal inilah yang menjadi jantung pragmatisme James pada waktu yang sama menyimpang dari Peirce. 

3. Alam

Konsep pragmatisme tentang dunia adalah keyakinan bahwa alam pada hakekatnya tidak bermusuhan, namun juga tidak terlalu lama. Alam dan dengan kekuatan yang dimiliki adalah netral. Bisa bertentangan dan bisa bermanfaat bagi manusia. Alam akan menguntungkan dan merugikan tergantung pada keputusan yang diambil oleh manusia. 

4. Politik

Negara merupakan wadah atas sarana masyarakat dan tujuan Negara adalah melindungi dan memelihara keamanan anggotanya, memelihara keadilan dan meningkatkan seluruh kehidupan masyarakat. Kebijaksanaan dan sikap politik pemerintah berakar pada pengaruh sosial yang pluralistik dalam arti kata individu dan kelompok berinteraksi secara berkesinambungan untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi seluruh warganya. Jadi, sudut pandang politik pragmatisme yang terpenting adalah bagaimana Negara dapat berfungsi dalam arti segala konsekuensi dan tindakannya selalu mengacu pada individu, kelompok dan masyarakat secara menyeluruh. Artinya bahwa apa pun caranya yang penting manfaat bagi Negara dan masyarakat.  

Nilai-nilai Dasar

Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan dicari bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekedar objek pengertian, permenungan, atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan, peningkatan serta kemajuan masyarakat dan dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan dari pada pengetahuan dan ajaran. Dan kenyataan pengalaman hidup di lapangan dari pada prinsip muluk-muluk yang melayang di udara. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan, pernyataan tidak cukup hanya berdasarkan logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan, tetapi berdasarkan dapat tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil. Dengan demikian, menurut kaum pragmatisme, otak berfungsi sebagai pembimbing perilaku manusia. Pemikiran, gagasan, teori merupakan alat dan perencanaan untuk bertindak. Kebenaran segala sesuatu diuji lewat dapat tidaknya dilaksanakan dan direalisasikan untuk membawa dampak positif, kemajuan dan manfaat. Yang menjadi masalah ialah apabila watak pragmatis menjadi filsafat pragmatisme. Di mana pragmatisme bersifat dua. Ia sekaligus merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagai kritik terhadap pendekatan ideologis pragmatisme mempertanyakan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan sebuah masalah, misalnya bagi pembangunan masyarakat. Apakah benar tidaknya ideologi itu akan mengubah sesuatu pada pembangunan? Pragmatisme mengkritik segala macam omongan tentang cita-cita, falsafah hidup, rumusan-rumusan suci yang tidak memajukan masyarakat. Bukan keindahan suatu konsepsi, melainkan sumbangan nyata pada pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, itulah yang menentukan. Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi membuktikan kebenarannya apabila berhasil memecahkan masalah yang ada. Artinya mengubah situasi yang penuh keragu-raguan dan keresahan sedemikian rupa hingga keragu-raguan dan keresahan itu hilang secara lebih sederhana. 

Pragmatisme: Makna dan Kebenaran Berhubungan Dengan Konsekuensi-konsekuensi

Jika makna sebuah konsepsi ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensinya, maka makna apakah yang dapat diberikan pada “kebenaran”? sesungguhnya makna menyangkut ide dan kebenaran menyatakan hubungan antara ide-ide yang dipandang berhubungan dan hubungannya dengan sesuatu yang ditunjuk ole hide-ide tersebut. Karena makna yang dikandung oleh ide-ide tersebut ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensi yang praktis, maka kebenaran suatu tanggapan mengenai hubungan dengan corak-corak konsekuensi yang khusus. Seorang penganut pragmatisme melakukan pendekatan terhadap penyelesaian masalah ini dengan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang yang berpikir. Mengapa kita berpikir? Berbicara secara biologi, pikiran merupakan perabot untuk menyelesaikan masalah. Jika demikian halnya, maka berpikir secara lurus ialah menghubungkan ide-ide sedemikian rupa sehingga ide-ide tersebut mempimpin kita untuk memperoleh hasil yang memuaskan dalam kegiatan menyelesaikan masalah. Karena itu kebenaran harus bersangkutan dengan penyelesaian masalah yang dihadapi. Dan menurut sementara penganut pragmatisme, dapat dikatakan bahwa suatu idea atau tanggapan benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, artinya jika membawa ke arah penyelesaian masalah yang dihadapi secara berhasil. 

Dalam hal makna dan kebenaran pragmatisme, pendirian pragmatisme mungkin lahir dari tanggapan kekecewaan terhadap kenyataan hidup yang ada. Rasa kecewa muncul karena mendapati berbagai tindak tidak konsisten dan konsekuen dalam hidup. Tidak dapat disangkal, misalnya bahwa tidak sedikit penganut agama yang perihidupnya jauh jika malah tidak bertolak belakang dari ajaran dan semangat imannya. Dari kenyataan ini muncul pertanyaan: apa guna agama bila tidak mampu membuat penganutnya menjadi lebih baik? Misalnya lagi, dalam masyarakat banyak orang baik. Akan tetapi, kebaikan tampaknya berhenti pada dan untuk dirinya sendiri saja, serta tidak memiliki daya kreatif dan inovatif bagi lingkungannya. Kemudian, pertanyaannya: apa gunanya menjadi orang baik bila tidak membawa kebaikan bagi sesama? Masih, misalnya lagi, banyak pejabat, tokoh agama pandai memberi nasihat moral-etis tinggi-tinggi. Sayang, nasihat itu bukan untuk diri sendiri, melainkan berlaku untuk orang lain saja. Lalu pertanyaannya: apa baiknya tahu banyak tentang moral dan etika jika hidupnya sendiri tidak bermoral dan etis? Banyak orang dapat berpikir hebat dan berteori tinggi untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Namun, pertanyaannya lalu untuk apa pikiran dan teori itu bila berhenti sebagai pikiran dan teori muluk-muluk dan tidak berjalan di lapangan. Banyak orang sudah menyelesaikan sekolah, tetapi tidak menjadi terpelajar, gagal menjadi manusia terdidik, kreatif, inovatif, produktif dan tidak dapat mencapai tujuan kemanusiaannya menjadi manusia utuh. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah di mana arti pendidikan bila lulusannya tidak berhasil menjadi manusia. 

Pragmatisme mungkin juga muncul dari hati tulus dan kehendak baik untuk mau terlibat dan mau memberi sumbangan nyata bagi kemajuan dan kesejahteraan dunia. Untuk itu, kaum pragmatisme tidak puas dengan pembicaraan dan rapat-rapat yang hanya berjalan lancar, isi pembicaraan bermutu dan berakhir dengan kesimpulan, pernyataan dan sumbang saran bagus. Mereka mau lebih: apa yang dibuat sesudah pembicaraan dan rapat? Wacana dan kata harus operatif. Kaum pragmatis tidak berhenti pada perumusan pemikiran, gagasan, teori, pernyataan, tetapi mengaitkan semua itu dengan tindakan nyata. Mereka tidak merasa cukup dengan berbagai nasihat moral etis, tetapi berbuat dan bertindak nyata. Jika perlu lewat gerakan untuk mengubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia. Dalam hal pemahaman pragmatisme ini, tidak jarang ada yang menentang bahkan tidak sepakat dengan teori pragmatisme. Antara lain kaum teoritikus dan kaum intelektual yang mencap bahwa pragmatisme dangkal, tidak mau berpikir, anti kegiatan spekulatif serta intelektual.  Kalau pragmatisme hanya sekedar mengutamakan tindakan nyata dari pada omongan kosong, tidak ada masalah. Tetapi kalau pragmatisme menolak apa yang disebut perselisihan teoritis, debat tentang prioritas, pertengkaran ideologis, pembahasan nilai-nilai dan sebagainya demi tindakan langsung, maka pragmatisme de facto melarang diskusi tentang legitimasi suatu tindakan. Pragmatisme itu dapat kita sebut pragmatisme positivistik. Positivistik karena positivisme menganggap pertengkaran tentang norma dan nilai sebagai omongan kosong yang irasional. Oleh karena itu, akibat dari pragmatisme positivistik ialah bahwa tidak lagi terjadi diskusi terbuka tentang alternative mana yang lebih baik. Seperti contoh desa yang tidak mempunyai petani kaya (persoalan pendekatan pragmatisme menjadi problematis).  Yang menarik dari contoh tersebut menurut Franz Magnis-Suseno ialah bahwa pemecahan pragmatis masalah isolasi desa itu ternyata tidak netral, melainkan memihaknya. Yang beruntung adalah mereka yang sudah lumayan keadaannya, mereka itu sekarang menjadi kaya. Sedangkan yang hidupnya pas-pasan sekarang kehilangan nafkah hidup sama sekali dan menjadi sangat miskin. Alternatif bahwa jembatan itu tetap tidak dibangun, agar jangan sampai penduduk pas-pasan menjadi miskin semata-mata demi kepentingan petani yang sudah lumayan keadaannya supaya menjadi kaya, atau agar jembatan itu hanya dibangun dengan jaminan-jaminan tertentu tidak didiskusikan sama sekali, dianggap sudah barang tentu adanya jembatan adalah lebih baik dari pada tidak ada. Padahal selalu ada beberapa alternatif. Kalau tidak ada diskusi mengenai baik buruknya masing-masing alternatif yang ada, alternatif mana yang akan dipilih? Pertanyaan itu mudah dijawab: tentu alternatif yang dianggap paling baik oleh para perencana dan mereka yang berkuasa untuk mengambil keputusan. Dengan kata lain, pragmatisme adalah sebuah ideology terselubung, yaitu ideology terselubung karena pura-pura antiideologis, praktis, netral. Tetapi ideologis karena diam-diam menunjang kepentingan dan nilai-nilai satu pihak saja, kepentingan dan nilai-nilai para perencana dan kaum kuasa. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pragmatisme merupakan siasat para decision makers untuk mencegah perdebatan demokrasi tentang arah mana yang mau dilakukan untuk mencegah kontrol demokrasi oleh semua pihak yang bersangkutan dan sekaligus menjamin bahwa arah yang ditempuh sesuai dengan kepentingan para decision makers itu sendiri. 

Namun, pada tingkatnya pragmatisme baik secara umum maupun secara khusus di bidang etis menyumbang sesuatu. Pragmatisme menekankan kesederhanaan, kemudahan, kepraktisan, dampak positif langsung dan manfaat. Hal-hal yang ditekankan dalam paham pragmatis itu merupakan unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam mengurus hal-hal sederhana dan dalam situasi hidup di mana dicari langkah-langkah kerja yang tidak rumit dan kecepatan pengurusan serta selesainya perkara lebih dinginkan. Sebagai paham etis pragmatisme menyatakan bahwa yang baik adalah yang dapat dipraktekkan, berdampak positif dan bermanfaat. Pertama, ada kebaikan yang dilihat dari manfaatnya tidak dapat dimengerti. Misalnya, kesetiaan suami istri yang masih terus dipertahankan meski pasangannya jelas-jelas sudah tidak cocok. Kedua, kebaikan yang dilaksanakan malah mencelakakan. Misalnya, karena melaksanakan hukum etis “jangan mencuri”, orang malah mati kelaparan. Karena itu, “baik” tidak dapat disamakan dengan “dapat dilaksanakan” dan “mendatangkan dampak positif”. Ketiga, antara kebaikan dan pelaksanaan tidak ada hubungan secara langsung. Untuk melaksanakan kebaikan perlu dukungan situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta ada kemauan dari pelakunya. Karena itu, ada kebaikan yang tidak dapat dipraktekkan karena tidak ada dukunga dan kemauan. Meski tidak dapat dilaksanakan, kebaikan itu tetap baik misalnya, kebersihan dalam arti tidak korupsi. Kebersihan itu baik, tetapi di Negara di mana korupsi sudah menjadi budaya yang tidak mungkin diwujudkan. Meski demikian, kebersihan tetap baik. Keempat, pragmatisme dalam praktek dapat berubah menjadi paham utilitaristis. Hanya yang bermanfaatlah yang baik. Kelima, pragmatisme dapat menjadi paham egoistis karena dapat dipraktekkan, dilaksanakan, mendatangkan dampak positif dan manfaat merupakan unsur yang mudah menjadi unsur pribadi. Karena itu, unsur itu dapat hanya menjadi praktis, mudah dilaksanakan, berdampak positif serta bermanfaat dari pandangan subjektif dan dari segi pandang diri sendiri.  Pragmatisme sebagai aliran filsafat dan paham etis bukan tanpa kelemahan. Adapun yang menjadi kelemahan pragmatisme sebagai suatu aliran filsafat yaitu: pragmatisme mempersempit kebenaran menjadi terbatas pada kebenaran yang dapat dipraktekkan, dilaksanakan, dan membawa dampak nyata. Dengan mempersempit kebenaran itu, pragmatisme menolak kebenaran yang tidak dapat langsung dipraktekkan. Padahal banyak kebenaran yang tidak dapat langsung dipraktekkan. Paham manusia seutuhnya adalah contoh sederhana. Bagaimana paham ini dapat dipraktekkan langsung? Padahal sebagai kebenaran tidak dapat terbantahkan. 

Kesimpulan

Pragmatisme ialah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis atau ideal. Hasilnya dapat dimanfaatkan langsung berhubungan dengan tindakan, bukan spekulasi atau abstraksi, dapat memberi penjelasan yang berguna untuk suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. Dalam sejarahnya, pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang pertama kali menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat yang kemudian diperkenalkan secara luar kepada dunia oleh William James dan kemudian John Dewey.


Komentar

Popular Posts

KHOTBAH MINGGU 17 NOVEMBER 2024, MATIUS 24: 9-14, ORANG YANG BERTAHAN SAMPAI AKHIR AKAN SELAMAT

KHOTBAH MINGGU 3 NOVEMBER 2024, MARKUS 12: 28-34, MENGASIHI TUHAN ALLAH DAN SESAMA MANUSIA

KHOTBAH MINGGU 24 NOVEMBER 2024, DANIEL 7: 9 - 14, KEKUASAAN DAN KERAJAAN ALLAH TIDAK AKAN LENYAP