UNIVERSALITAS YESUS (Tinjauan Religionum Mengenai Makna Keselamatan Yesus Yang Universal): Pdt. Boy F. Tampubolon

UNIVERSALITAS-YESUS-Tinjauan-Religionum-Mengenai-Makna-Keselamatan-Yesus-Yang-Universal-Pdt-Boy-F-Tampubolon
https://www.canva.com/p/templates/EAE5EV8s60c-minimalist-christian-t-shirt/
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Salah satu topik yang sangat hangat dibicarakan dan didiskusikan era postmodern ini adalah mengenai kehadiran gereja di tengah-tengah kepelbagaian agama. Hal itu semakin d
irasakan dan disadari pada saat situasi dan kondisi globalisasi masa kini. Salah satu sifat dari kondisi globalisasi sekarang ini adalah timbulnya kesadaran terhadap realitas kepelbagaian di berbagai bidang kehidupan termasuk di bidang keagamaan dan keberagaman. Realitas kepelbagaian tersebut menimbulkan kesadaran bahwa setiap nilai dan kebenaran yang dimiliki selalu bersifat relatif dan tidak lagi sebagai kebenaran universal. Sebab kebenaran universal itu, menurut Francois Lyotard (filsuf postmodernisme) sebenarnya tidak ada dan tidak mungkin ada. Setiap pihak, termasuk agama yang mengklaim pemilik dan penentu kebenaran selalu relatif sifatnya,  di tengah-tengah kepelbagaian agama. Bahkan yang menjadi persoalan adalah penolakan terhadap klaim-klaim tentang finalitas, kebenaran definitif atau mutlak atau universalitas kebenaran tersebut. 

Permasalahan yang sedang dihadapi manusia di era postmodern ini adalah orang sudah tidak percaya lagi pada kebenaran. Ini tidak hanya berarti mereka tidak percaya bahwa kekristenan itu tidak benar, tetapi adanya konsep kebenaran itu sendiri bahkan sudah tidak diakui lagi. Yang menjadi fokus permasalahan yang pertama, hilangnya fokus pada kebenaran kehidupan manusia saat ini dikuasai etika hedonisme  (kenikmatan sesaat) yang lebih penting dari pada kebenaran. Apa yang penting ialah memperhatikan hal-hal yang relevan hari ini, dan bukan memikirkan kebenaran hakiki yang akan membentuk puluhan ribu tahun di depan. Yang kedua, hilangnya universalitas kebenaran, relativisme menjadi tuan. Sehingga orang dengan mudahnya menerima pandangan bahwa kebenaran itu tidak normatif bagi semua orang, tetapi senantiasa berubah tergantung pada lainnya. Dan yang ketiga, hilangnya kesatuan kebenaran. Teisme Kristen mengklaim bahwa kebenaran itu sebagai sesuatu yang saling terkait satu dengan lainnya dan bersifat koheren. Segala sesuatu dilihat dalam hubungannya dengan Allah pencipta yang menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Tetapi yang menjadi fokus kebenaran itu hilang dan kesatuan kebenaran itu pun hilang serta sifat keuniversalan kebenaran itu pun hilang. Semua ini menjadi kebenaran-kebenaran yang sifatnya fragmental tanpa koherensi di dalamnya. 

Ditambah lagi jika mengingat peristiwa pada Abad Pertengahan yang lampau, di mana terjadi suatu monopoli agama Kristen atas kebenaran dan kehidupan yang menyelamatkan, yang diungkapkan dalam doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Doktrin Katolik Roma yang eksklusif ini mempunyai ekuivalen Protestannya yang sama-sama kuat dalam keyakinan bahwa di luar agama Kristen tidak ada keselamatan. Akibatnya, para misionaris diutus untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang, bila tidak diselamatkan, telah kehilangan kehidupan kekal. Ini adalah asumsi yang praktis tidak tertantang, yaitu bahwa agama Kristen harus menyebar di seluruh dunia, menggantikan tradisi-tradisi non-Kristen. Dan melakukan perlawanan terhadap agama-agama non-Kristen memperlihatkan bahwa agama Kristen adalah jalan, kebenaran dan kehidupan, cabang teologi yang berusaha menggugurkan agama-agama non-Kristen dan sebaliknya menanam di tanah kehidupan bangsa kafir iman injili dan kehidupan Kristen.  Oleh karena persoalan tersebut, tak jarang bahwa doktrin yang diajarkan menjadikan sikap setiap penganutnya lebih mempertahankan dan menonjolkan kebenaran ajarannya dan menganggap ajaran lain (di luar agamanya) adalah salah, serta menganggap bahwa hanya di dalam agamanya terdapat keselamatan. Satu pemahaman yang berkembang bagi penganut agama Kristen khususnya para misionaris Eropa, para kolonialisme dan aliran Yansenisme dulunya adalah sangat eksklusif. Sehingga banyak para penganut aliran kolonialisme  dan Yansenisme  yang tidak segan-segan menampilkan heronisme dan kemartiran dalam usahanya merebut jiwa-jiwa. 

Dalam hal ini manusia beragama itu lalu merasa dirinya mutlak benar, karena memiliki kebenaran agamanya. Manusia beragama ini sepertinya menyatu penuh dengan kebenaran agamanya yang mestinya dari Allah, tetapi ia sudah daulat menjadi milik sendiri. Dengan demikian, hubungan dengan Allah lenyap dan tersisalah manusia beragama itu sendiri dengan luapan rasa benarnya yang tidak terkendali lagi. Tidak ada lagi pada dirinya keharusan untuk tunduk kepada Allah dan kebenaran Allah. Tinggallah ia sendiri dengan kebenarannya yang membenarkan dirinya dalam bertindak benar sendiri. Dalam hubungan inilah muncul tindakan-tindakan kekerasan oleh manusia beragama dengan mengatasnamakan Allah, tetapi yang sesungguhnya dilakukan atas dasar kebenaran sendiri. Banyak kejahatan yang bahkan melampaui batas-batas kemanusiaan telah dilakukan manusia (beragama) atas dasar kebenarannya itu sendiri. 

Berbicara tentang agama, tentu berbicara tentang keselamatan. Dan keselamatan adalah sesuatu yang amat sensitif bagi orang-orang Kristen dalam percakapan yang berkaitan dengan kemajemukan agama-agama. Setiap kali ada usaha untuk memperluas wawasan umat kristiani ke arah apresiasi terhadap agama lain, setiap kali pula ada reaksi yang menyesalkan apresiasi ini sebagai sesuatu yang mengurangi nilai keselamatan yang ada pada Yesus Kristus. Bahkan, apabila dapat diperlihatkan bahwa sepanjang sejarah penghayatan iman yang berlangsung dari zaman Alkitab, sekalipun ada proses apresiasi dan pengambil-alihan dari agama lain, hal ini juga dianggap sebagai sesuatu yang merugikan jati diri agama Kristen sendiri. E. Gerrit Singgih mengatakan bahwa cara berpikirnya sederhana saja, kalau yang lain itu diapresiasikan berarti ada yang baik pada yang lain itu. Jadi, kalau ada pada yang lain, untuk apa menjadi kristiani, untuk apa orang Kristen menerima keselamatan dari Kristus? Orang percaya adalah orang yang selamat, sedangkan orang banyak adalah yang tidak/ belum selamat. Biasanya dikatakan, bahwa dasar ini diambil dari Injil Yohanes 3:16, Allah mengasihi dunia ini. Oleh karena itu Putera-Nya yang tunggal dikaruniakan-Nya kepada dunia, “supaya setiap orang yang percaya” kepada-Nya mendapat keselamatan. 

Dalam hal keselamatan, Cullmann  angkat bicara dengan idenya mengenai “sejarah keselamatan” (Heilsgeschicte).  Di mana, segala perbuatan Allah berlaku di dalam perjalanan waktu, atau dengan perkataan lain tempat perbuatan Allah ialah sejarah. Allah disebut “Raja segala zaman” (1 Tim. 1:17). Cullmann banyak meminjam ide dasar dari Karl Barth untuk membentuk suatu pendekatan yang baru terhadap sejarah. Selain itu, penekanannya juga berasal dari Barth yaitu bahwa perlu adanya pengertian Kristosentris mengenai Perjanjian Baru dan konsep bahwa iman mempunyai peranan  yang menentukan dalam pewahyuan Ilahi. Dalam sejarah keselamatan, Cullmann mengatakan bahwa Allah bertindak dalam sejarah, merupakan penekanan yang paling cocok dengan teologi ortodoks. Penekanan lain dalam ajarannya yang mirip dengan teologi Alkitab ialah penekanan yang kuat pada aspek Kristologi. Penekanan yang kuat pada keselamatan sebagai peristiwa historis (sejarah) yang berpusat pada Kristus, merupakan suatu peringatan yang berguna, khususnya terhadap ajaran kritik bentuk yang mementingkan demitologisasi. Pandangan-pandangannya terhadap hubungan antara kedatangan Kristus yang pertama dan eskatologi telah amat berguna, khususnya di dalam mengoreksi beberapa penekanan ortodoks tertentu pada waktu yang lampau. 

Ide sejarah keselamatan tersebut sudah banyak ditinggalkan dalam teologi biblika. Namun, tetap benar dan salah, bahwa pembicaraan mengenai keselamatan umat berhubungan erat dengan keselamatan dunia. Pada bagian-bagian yang paling tajam menekankan pada umat, seperti kitab Wahyu, yang pada akhirnya tetap ada perhatian pada dunia sekalipun dunia itu adalah “langit baru dan bumi baru”. Berbicara tentang penciptaan manusia dalam narasi Kejadian pasal 1-11 disusul dengan pemanggilan Abraham dalam Kejadian 12. Pemanggilan Abraham dalam Torah bermuara pada pemanggilan Musa dalam Keluaran pasal 3 dan akhirnya pembebasan umat Israel dari Mesir dan kisah awal mengenai jati diri Israel sebagai umat Allah. Jadi, dari universal garisnya menjadi agak sempit ke garis partikular. Namun sebaliknya, dalam penghayatan umat mengenai keberadaan umat Israel sesudah pembuangan dalam “syair-syair Hamba Tuhan”, dapat dilihat bahwa garis yang berlawanan arah dari garis partikular ke garis universal. Hamba Tuhan yang adalah Israel harus menjadi “perjanjian bagi umat manusia, terang bagi bangsa-bangsa” (Yes. 42:6). 

Dari teks di atas jelas bahwa keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat partikularistik. Di dalam Alkitab sendiri jelas, bahwa keselamatan juga mengandung makna universalistik. Kalau tidak demikian, mana mungkin Injil menyebar ke lingkungan yang lebih luas dari pada kekristenan Yahudi yang membatasi keselamatan dalam Kristus hanya pada keyahudian saja? Paulus digambarkan menghantam pembatasan ini dalam serangannya terhadap praktik sunat yang mau ditetapkan oleh orang Kristen Yahudi terhadap orang Kristen non-Yahudi. Tetapi, oleh banyak orang Kristen sekarang ini cara berpikir orang Kristen Yahudi itu mau diambil alih. Jadi, bukannya mengikut Paulus, melainkan mengikut lawan-lawan Paulus. Oleh karena jasa Paulus, keselamatan terbuka bagi orang-orang non-Yahudi. Namun, oleh banyak orang Kristen sekarang, keselamatan ditutup menjadi hak eksklusif dari kelompok Kristen saja. Kalau dulu orang Kristen Yahudi berkata kepada dunia: engkau harus disunat dulu baru selamat, sekarang banyak orang kristiani berkata kepada dunia: engkau harus percaya dulu atau dibaptis dulu baru selamat. Praktik baptis dalam kenyataan telah mengganti praktik sunat, padahal maksud Paulus bukan mengganti praktik sunat dengan praktik baptis melainkan menghapus sunat. Itu berarti, baptisan tidak dapat dianggap sejalan dengan sunat. Namun, dalam kehidupan kristiani yang sehari-hari berkomunikasi dengan masyarakat keagamaan yang bersifat majemuk, pemahaman keselamatan yang bersifat non-majemuk tidak mungkin dapat dipertahankan. Artinya bahwa orang Kristen mempunyai dasar Alkitab yang kuat kalau berpindah dari pemahaman keselamatan yang eksklusif ke pemahaman keselamatan yang inklusif. 

Dalam pengajaran Yesus terkandung universalitas yang paling luas yang didasarkan pada kasih yang rela berkorban, tidak eksklusif, dan tanpa pamrih. Kata-kata-Nya dalam perjamuan terakhir membuktikan pentingnya universalitas itu di dalam diri-Nya sendiri: “inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu…” (Luk. 22:19).  Secara teologis, umat Kristen mengatakan bahwa mereka percaya kepada suatu Allah yang benar-benar mau menyelamatkan semua orang. Inilah Allah dari Yesus Kristus, Allah “kasih yang murni tanpa terikat” (pure unbounded love), yang merangkul semua dan menghendaki semua memiliki kehidupan dan keselamatan. 

Menurut Alkitab, penyebab yang menggerakkan penebusan sesungguhnya, ditemukan dalam kehendak Allah untuk menyelamatkan orang berdosa dengan suatu korban penebusan yang menggantikan manusia. Kristus sendiri adalah “buah” dari kebaikan kemurahan Allah. Sudah dinubuatkan bahwa Ia akan datang ke dalam dunia untuk membawa kebaikan kemurahan Allah… “dan kehendak Tuhan akan terlaksana oleh-Nya” (Yes. 53:10). Tidak dapat disangkal bahwa Allah Bapa memiliki tujuan tertentu dalam merencanakan kematian Anak Tunggal-Nya. Atau bahwa Allah Anak memiliki rencana yang pasti dalam mengorbankan nyawa-Nya di atas kayu salib. “Tuhan yang melakukan semuanya ini, yang telah diketahui dari sejak semula” (Kis. 15:17-18). Dari teks di atas dapat dikatakan bahwa Kristus mati bukan untuk “menyediakan kemungkinan keselamatan” melainkan “kepastian keselamatan”, bagi semua orang yang telah diberikan Allah Bapa kepada-Nya. Kristus mati bukan sekedar untuk menyediakan pengampunan dosa, melainkan “untuk menghapus dosa oleh korban-Nya” (Ibr. 9:26). Paulus dengan tegas mengatakan bahwa keselamatan tidak ada di luar Kristus dan diperoleh hanya karena karunia melalui iman (Rom. 3:22-26; Ef. 2:8-10). Dengan penuh keyakinan pada firman Allah, Luther dan Calvin sebagai reformator gereja, mereka berani menegaskan sola gratia dan sola fide pada zaman kegelapan. 

Sehingga keselamatan di dalam Kristus menurut iman kristiani pada dewasa ini, tidak dapat diartikan semata-mata hanya bersifat spiritual, vertikal dan “seberang sana”. Semua golongan akan setuju bahwa, keselamatan bersifat menyeluruh, holistik, meliputi rohani maupun jasmani, vertikal maupun horizontal. Keselamatan diwartakan dan sementara itu yang mewartakan secara konkret juga melakukan tindakan-tindakan sosial. Tetapi, hubungan langsung antara keselamatan dan tindakan sosial biasanya menjadi masalah bagi umat kristiani. Di masa lalu di Amerika Serikat ada gerakan yang disebut “Social Gospel” (Injil Sosial). Gerakan ini dikecam oleh kalangan Protestan yang ortodoks sebagai Injil yang tidak murni lagi, sebab menekankan pada perbuatan manusia. Padahal, manusia diselamatkan bukan karena perbuatan, melainkan karena iman. Orang-orang Protestan ortodoks ini bukannya tidak melakukan perbuatan baik, melainkan perbuatan baik tidak ada sangkut-pautnya dengan iman dan keselamatan. Orang tidak beriman bisa saja melakukan perbuatan baik. Sebab itu usaha manusia, sedangkan orang beriman yang melakukan perbuatan baik, melakukannya sebagai “buah iman” yang disebabkan oleh Roh Kudus. Bila usaha manusia dibandingkan dengan karya Roh Kudus, tentulah yang terakhir ini yang lebih unggul. Pada gilirannya perbuatan baik yang dilakukan oleh orang beriman adalah rangka menarik perhatian orang untuk menerima keselamatan. Jadi, perbuatan baik, tindakan pelayanan sosial dianggap sebagai alat dan bukan bagian yang integral dari pekabaran Injil. 

Seperti yang dikatakan Paul F. Knitter bahwa, sepanjang sejarahnya orang-orang Kristen telah membatasi atau meredupkan kasih dan kehadiran ilahi yang universal. Mereka terlalu memusatkan diri pada partikularitas Yesus atau gereja sehingga mereka kehilangan wawasan akan Allah universal yang diwahyukan Yesus.  Akan tetapi harus ditekankan bahwa bagi teologi Kristen, pemahaman tentang universalitas kasih Allah yang mendamaikan dan menyelamatkan bagi ciptaan-Nya itu tidak pernah lepas dari penyataan diri Allah dalam partikularitas peristiwa Kristus sebagai Allah Trinitarian yang partikular – Bapa, Anak dan Roh. Teologi Kristen tentang agama kehilangan identitas khususnya apabila ia berusaha mendasarkan pemahamannya tentang agama-agama itu bukan pada universalitas Allah, yang dinyatakan dalam Kristus, melainkan pada konstanta antropologis yang dianggap universal, misalnya apa yang disebut “apriori religius”. Dan akan menjadi sesuatu yang kontradiktif jika kekristenan memberikan pemahaman tentang agama-agama dengan alternatif pendekatan “Teosentris” dan “Kristosentris”, karena keyakinannya tentang universalitas pemeliharaan Allah terhadap seluruh ciptaan-Nya itu didasarkan pada penyataan khusus tentang universalitas dalam peristiwa Kristus dan isinya yang khusus adalah keyakinan mengenai universalitas kasih Allah yang mencipta, mendamaikan serta menyelamatkan hanya pada dasar yang partikular ini. 

Dalam hal ini, Raimundo Panikkar malah berjalan selangkah lebih jauh ketika ia mengatakan: “orang Hindu yang baik dan bonafide diselamatkan oleh Kristus dan bukan oleh Hinduisme, tetapi melalui sakramen-sakramen Hinduisme, melalui Mysterium yang tiba kepadanya. Melalui Hinduisme Kristus menyelamatkan orang Hindu secara normal. Beberapa teolog gereja ortodoks timur bergerak ke arah yang sama. Metropolitan Georges Khidr berbicara tentang Kristus dalam tradisi agama lain. “Kristus tersembunyi di mana-mana dalam misteri kerendahan-Nya. Setiap bacaan kepada agama-agama adalah bacaan kepada Kristus. Hanya Kristus saja yang diterima sebagai terang ketika anugerah mengunjungi seorang Brahmin, seorang Buddhis atau seorang Muslim yang sedang membaca kitab suci mereka masing-masing. 

Lain pihak Raimundo Panikkar mengatakan bahwa gagasan pertamanya bahwa Tuhan datang untuk menyelamatkan umat manusia melalui diri Kristus, jelas ini suatu konsep teologis agama Kristen. Namun bagaimana hal ini dapat terjadi ketika banyak orang sebelum dan setelah kehidupan Kristus tidak pernah mendengar tentang Dia? Jawaban yang ia berikan bahwa Tuhan memaksudkan “menyelamatkan” seluruh manusia lewat Kristus itu melalui tradisi-tradisi keagamaan lainnya dan kemudian dia dapat berbicara tentang The Unknown Christ of Hinduism (Kristus Hinduisme yang tidak dikenal). Titik pijak teologisnya yang kedua adalah seruan keras atas perlunya reformasi bahwa keselamatan itu melalui keimanan. Namun yang menjadi pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan keimanan? Jika dipahami lebih dari pada pencarian otentik ketimbang jawaban yang benar terhadap pertanyaan-pertanyaan teologis maka seluruh tradisi terbuka bagi kategori keselamatan melalui keimanan. Konsep teologisnya yang ketiga tampak eksklusif yakni bahwa hanya terdapat satu Tuhan, mediator Yesus Kristus. Namun dia melakukan universalisasi terhadap gagasan Yesus. Menurutnya keselamatan didasarkan pada Yesus, tetapi mediator ontic Yesus tidak bergantung kepada agama yang dimiliki seorang individu pada waktu dan tempat keberadaannya di bumi, baik di dalam maupun di luar agama Kristen, dengan atau tanpa eksistensi historik dari gereja yang tampak. Kristus menguniversalkan penyelamatan orang-orang tetapi melalui sakramen mereka sendiri-sendiri. 

Keselamatan tidak hanya terjadi dalam ranah-ranah yang telah ditemukan oleh teolog Kristen tradisional. Ia tidak menampakkan diri hanya ketika aturan-aturan gereja tertentu ditaati dan rumusan-rumusan liturgis tertentu diucapkan. Dan terutama sekali, Ia tidak akan terjadi dalam tembok-tembok yang memisahkan para penganut agama-agama yang berlainan, memisahkan satu ras dari ras-ras yang lainnya dan menjauhkan orang-orang asing dan orang luar. Perjumpaan antara Allah dan manusia terjadi dalam kedalaman jiwa kita di mana terdapatnya penderitaan dan pengharapan kita. Ia terjadi dalam kehidupan kita yang terancam oleh berbagai jenis kecemasan, keraguan dan ketidakpastian.  Dalam kaitan inilah timbul berbagai pertanyaan karena pada kenyataannya bahwa kita sebenarnya tidak saja menghadapi satu agama, tetapi banyak (many) agama dunia, dengan jawaban-jawabannya yang bersifat ultimate terhadap berbagai pertanyaan tentang kehidupan. Kenyataan ini menyakitkan (painfully), sebab kesadaran akan kemajemukan agama itu bakal menimbulkan berbagai pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan.  Bagaimana agama-agama lain dapat mengalami keselamatan dari Yesus tanpa mengganti agamanya? Berbicara tentang keselamatan, apakah keselamatan hadir dalam setiap agama? Jikalau keselamatan hadir dalam setiap agama, untuk apa lagi adanya penginjilan, karena memang agama lain telah mendapat keselamatan yang universal dari Yesus!. Untuk itulah saya mengangkat judul Universalitas Yesus (Suatu Tinjauan Teologi Religionum Mengenai Makna Keselamatan Yesus Yang Universal dan Refleksinya Bagi Keselamatan di dalam Agama-Agama Lain).


Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan acuan dalam menjawab masalah yang akan diteliti, sehingga peneliti tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Bagaimanapun juga mengingat banyaknya masalah yang akan muncul dari suatu pokok kajian, mau tidak mau identifikasi masalah perlu dilakukan. Dengan demikian peneliti tidak terjerumus ke dalam banyak permasalahan yang akan diteliti.

1. Adanya anggapan bahwa ajaran lain (di luar agamanya) adalah salah serta menganggap bahwa hanya di dalam agamanya terdapat keselamatan.

2. Adanya anggapan bahwa melalui Hinduisme, Kristus menyelamatkan orang Hindu secara normal.

3. Adanya pandangan para teolog Kristen yang memandang bahwa banyak agama tetapi hanya satu jalan keselamatan.

4. Adanya pandangan para teolog Kristen yang memandang bahwa keselamatan didasarkan pada Yesus, tetapi mediator ontic Yesus tidak bergantung kepada agama yang dimiliki seorang individu.


Pembatasan Masalah

Melihat luasnya ruang lingkup yang akan dibahas, sehingga dalam hal ini mengharuskan penulis untuk membatasi permasalahan yang ada agar penulisan karya ilmiah ini dapat lebih terarah. Dengan demikian apa yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tujuan penulisan. Maka dalam hal ini penulis membatasi masalah pada tinjauan tentang Universalitas Yesus mengenai makna keselamatan Yesus yang universal dan refleksinya bagi keselamatan di dalam agama-agama lain.



Rumusan Masalah

Adapun langkah berikutnya setelah identifikasi masalah dan pembatasan masalah adalah perumusan masalah. Suryabrata mengatakan bahwa masalah hendaklah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, padat dan jelas. Rumusan ini hendaknya memberikan petunjuk tentang mungkinnya mengumpulkan data guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada perumusan masalah. 

1. Apakah yang dimaksud dengan universalitas?

2. Bagaimana universalitas keselamatan Yesus?

3. Bagaimana pemahaman agama-agama lain tentang keselamatan? Dan dibandingkan dengan keselamatan Yesus yang universal? 

4. Bagaimana keselamatan Yesus yang universal dimaknai oleh setiap agama-agama lain?

5. Makna keselamatan apa yang hendak dibangun dalam konteks agama-agama lain?


Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Universalitas

2. Untuk mengetahui bagaimana Universalitas keselamatan Yesus

3. Untuk mengetahui pemahaman agama-agama lain tentang keselamatan Yesus yang Universal

4. Untuk mengetahui keselamatan Yesus yang universal dimaknai oleh setiap agama-agama lain.

5. Untuk mengetahui makna keselamatan yang hendak dibangun dalam konteks agama-agama lain.


Manfaat Penulisan

1. Memberi informasi dan memperluas wawasan penulis serta pembaca mengenai universalitas Yesus.

2. Memberikan pemahaman kepada penulis dan pembaca untuk mampu menempatkan diri dan terbuka terhadap agama-agama lain.

3. Memberikan kontribusi pemikiran tentang signifikansi wacana universalitas Yesus sebagai bahan wacana oleh peneliti dalam studi agama-agama


Metode Penulisan

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode kuantitatif dengan studi kepustakaan (library research), yakni dengan memakai sumber-sumber dari buku, artikel dan sumber-sumber lain yang mendukung dan berhubungan langsung dengan judul ini.


Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, mencakup latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, metode penulisan, tujuan penelitian, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :  Menguraikan Pemahaman Tentang Universalitas, Yesus dan Keselamatan.

BAB III : Tinjauan Terhadap Universalitas Yesus

BAB IV : Makna Keselamatan Yesus Yang Universal dan Refleksinya Bagi Keselamatan di dalam Agama-Agama Lain.

BAB V : Kesimpulan dan Saran.


PEMAHAMAN TENTANG UNIVERSALITAS, YESUS DAN KESELAMATAN

Makna Universalitas

Universalitas berasal dari kata universal yang berarti umum  yang berlaku untuk semua orang dan untuk seluruh dunia.  Kata Universal dapat diartikan sebagai menyeluruh, semesta, umum meliputi seluruh dunia. Sehingga universalitas berarti sifat atau keadaan yang menyeluruh; hubungan; perluasan, keadaan hidup atau secara umum.  Atau hal yang bersifat menyeluruh.  Sedangkan universalisme berarti aliran yang meliputi segala-galanya; penerapan nilai-nilai dan norma-norma secara umum.  Dalam pandangan religius, universalisme menegaskan bahwa keselamatan merupakan akhir dari semua manusia. Dengan kata lain semua manusia akhirnya diselamatkan.  Dalam Kisah Para Rasul 3:21 merupakan salah satu dasar alkitabiah untuk keyakinan, bahwa keselamatan merupakan restorasi universal.  Sehingga universalitas dapat dikatakan sebagai keadaan pendekatan yang menekankan kasih kepada sesama manusia selain kasih kepada Allah. Kasih kepada manusia adalah esensial karena hal itu adalah suatu pemikiran yang mengandung unsur revolusioner dan bersifat murni keagamaan. Yang dimaksud dengan revolusioner adalah bahwa kasih kepada manusia akan merembes secara universal ke dalam masyarakat serta mempengaruhi kehidupan komunitas manusia, kebudayaan bahkan keluarga yaitu unit terkecil dari populasi.  Karena konsep universal di atas, kekristenan tidak terlampaui oleh Stoisisme  dalam dasar pemikirannya, pendekatannya serta hasil yang dicapainya. Walaupun demikian kekristenan harus mengakui adanya kemungkinan timbulnya kasih yang universal itu di antara keyakinan iman yang lain.

Universalitas dalam Agama-Agama

Agama Kristen

Allah sebagai pencipta dan sekaligus penyelamat bagi manusia ketika manusia jatuh ke dalam dosa, dan Allah mengikat perjanjian dengan manusia untuk melaksanakan maksud penyelamatan-Nya tersebut. Kisah kecongkakan manusia yang akhirnya terusir dari taman Eden, peristiwa air bah serta pembuangan merupakan bagaimana dosa masuk dan berkembang dalam kehidupan manusia. Allah dengan kasih setia-Nya mempersiapkan satu jalan yang sesuai dengan rencana-Nya menyelamatkan seluruh ciptaan. Allah memilih Abraham (Kej. 12) agar melalui dia semua bangsa memperoleh berkat, serta yang paling penting adalah bahwa dalam perjanjian itu, Allah sendiri yang berkenaan mengikatkan diri atau perjanjian tersebut berangkat dari inisiatif Allah. Di sinilah bukti kebebasan dan kemahakuasaan Allah, sebab Ia mau mengikatkan diri demi membawa kembali ciptaan-Nya kepada-Nya.

Dalam kitab Yunus  (Yun. 3:1-10) terlihat bagaimana sikap Allah memberikan keselamatan kepada bangsa Niniwe (di luar bangsa pilihan). Hal inilah yang bertentangan dengan prinsip dan pemahaman bangsa Israel yang mengatakan bahwa hanya merekalah yang akan diselamatkan Allah serta sudah menyalahi dengan janji Allah terhadap Abraham yang sebelumnya bahwa melalui dia atau keturunannya juga akan mendapatkan berkat. Stuart menjelaskan bahwa yudaisme kuno dikenal sebagai benteng pertahanan untuk menentang partikularisme. Di mana orang Yahudi dipahami sebagai orang yang berhak mendapat anugerah Allah, sedangkan bangsa lain tidak berhak mendapatkan berkat dan anugerah Allah.  Dalam hal ini, Israel ditentang untuk tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri tetapi juga harus memikirkan orang lain dan juga agar memahami makna keuniversalan Allah.

Dalam hal keselamatan dalam Perjanjian Baru, Paulus berpegang pada kepercayaan bahwa orang Kristen yang percaya ditentukan dari semula untuk keselamatan, tetapi ia tidak menyatakan bahwa yang lain ditentukan untuk dikutuk. Paulus memberi harapan bahwa bukan hanya “jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain (bukan Yahudi) akan diselamatkan (Rm. 11:25), melainkan juga bahwa akhirnya “seluruh Israel akan diselamatkan” (Rm. 11:26; bnd. 5:19). Dalam hal ini sebagai bukti Perjanjian Baru yang menentang doktrin universalisme ada dalam 1 Yohanes 5:12 dan Matius 25:41 yang menyatakan bahwa salib itu bukan hanya penyataan kasih Allah, melainkan juga penghukuman atas semua yang tidak menerima kasih. Maka dapat disimpulkan bahwa karena Allah tidak pernah memaksa orang untuk menerima keselamatan itu, dan pilihan akhir yang menentukan akhir-akhirnya ada pada seseorang secara pribadi. Sekalipun tidak ada batas dari sumber belas kasihan Allah, namun dapat dibayangkan bahwa bara api tanggung jawab manusia yang sudah tidak menyala itu tidak dapat dikipas oleh Allah, sehingga menjawab keselamatan-Nya.  Kekristenan secara tradisional telah menganggap Yudaisme sebagai agama partikular yang sudah ketinggalan zaman, yang terikat pada gagasan tentang pemilihan Allah terhadap sebuah bangsa dan negeri tertentu, yang telah digantikan dengan penyataan yang lebih unggul mengenai penebusan Allah atas segala bangsa di seluruh bumi oleh satu kepercayaan yang universal. Namun, pandangan ini keliru memahami potensi Yudaisme demi pemahamannya sendiri yang khusus tentang universalisme dan juga partikularisme Kristen. Klaim-klaim Kristen tentang universalisme secara kultural dibentuk oleh kekaisaran Yunani-Romawi yang meyakini dirinya sebagai sebuah kekaisaran universal yang memuat satu-satunya budaya humanistik sejati. Semua orang dari budaya-budaya lain menjadi “manusiawi” dengan berasimilasi ke dalam budaya Yunani-Romawi dan menerima pengaruh politiknya. Mereka yang tetap berada di luar orbit kekaisaran ini atau menolak budayanya dianggap sebagai “barbar” – artinya, orang-orang yang status biadab yang tidak sepenuhnya manusiawi. 

Agama Islam

Salah satu prinsip dasar yang diyakini oleh seluruh umat Islam adalah keyakinan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal. Karena itu, maka seluruh umat Islam sangat yakin sepenuhnya bahwa agama Islam sesuai dengan segala zaman dan tempat. Sumber universalitas Islam menurut Nurcholish Madjid  adalah pengertian Islam itu sendiri, yaitu sikap pasrah kepada Tuhan. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan pada hambanya, tetapi ia diajarkan olehnya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam. Jadi, pada pandangan ini, Nurcholish ingin memperlihatkan penegasan tentang universalitas Islam itu ada dalam kitab suci yang bersifat retoris yaitu sifat universalis Islam yang bertitik pusat pada adanya kesamaan esensial pesan Tuhan kepada para nabi-Nya. Tentu saja pengertian kesamaan itu tidak dimaksudkan adanya kesamaan materil atau formal dalam bentuk-bentuk aturan-aturan tertentu, apalagi keyakinan tertentu. Sebab, walau bagaimanapun setiap agama, demikian Nurcholish, memiliki perbedaan mendasar dan prinsipil dengan agama-agama lain, termasuk antara agama Islam dengan Kristen dan Yahudi, dua agama yang secara “geneologis” (dari nabi Ibrahim) paling dekat dengan Islam sekalipun. Tetapi, yang dimaksudkan dengan kesamaan dalam pandangan Nurcholish adalah adanya kesamaan dalam pesan besar dan mendasar yang dalam Al-Quran dinyatakan dengan kata “washiyyah” yaitu paham ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid. Selanjutnya, Nurcholish mengatakan bahwa sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan dalam semangat penuh kepasrahan dan tawakal serta percaya merupakan inti makna hidup manusia. Ia merasa yakin segi penghayatan seperti ini adalah sikap keagamaan yang benar sepanjang sejarah, karena sesuai dengan fitrah kemanusiaan, dan sikap penghayatan ini pasti benar dalam zaman modern.

Hal inilah yang disebut sebagai agama yang tegak, lurus dan benar atau hanif. Artinya bahwa proses pencaharian kebenaran dengan tulus dan murni, sejalan dengan sifat alami manusia yang berpihak kepada kebenaran (fitrah). Oleh karena itu, Islam dengan ajaran agama yang mengandung konsep kesatuan kenabian (wihdat al nubuwah, the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (wihdah al insaniyyah, the unity of humanity), yang berangkat dari konsep kemaha Esaan Tuhan (wahdaniyyah atau tauhid. The unity of God),  merupakan semangat hakikat kemanusiaan yang berlandaskan sikap al-hanifiyyat al-samhah, kecenderungan untuk bersandar kepada kebenaran, atau semangat untuk mencari terus menerus kebenaran secara lapang dada dan lain sebagainya. 

Dalam hal sikap, Azad  menambahkan bahwa Hidayat pewahyuan turut serta dalam universalitas tersebut, di mana Hidayat pewahyuan disebut sebagai Al-Huda di dalam Quran. Azad menghubungkan hal ini dengan pernyataan Quran:

Katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya (huwa i-huda) dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam. 

Jadi, Al-Huda atau petunjuk yang benar, yang berarti “satu-satunya petunjuk jalan yang benar”, berasal dari Allah sendiri. Al-Huda merupakan petunjuk wahyu Ilahi yang universal, yang dikaruniakan kepada setiap makhluk sejak semula tanpa diskriminasi. Ini berarti bahwa daya petunjuk dari wahyu Ilahi dimaksudkan untuk memberikan petunjuk kepada setiap orang tanpa membedakan rasa atau warna kulit dan lingkungannya. Segenap umat manusia di dunia, dari kapan pun dan dari mana pun, dibimbing oleh Al-Huda, sesuai dengan fungsi Rububiyat Allah. Petunjuk atau bimbingan itu tidak dibatasi sebagai milik dari kelompok-kelompok orang tertentu. Azad berpendapat bahwa petunjuk Allah, sebagai petunjuk yang sebenarnya harus dibedakan dari semua bentuk petunjuk yang telah dijadikan petunjuk eksklusif oleh komunitas-komunitas tertentu dan yang telah membagi-bagi umat manusia dalam berbagai kelompok agama yang saling bersaing. Azad berulang kali menekankan hubungan yang tidak dapat terhindarkan antara keesaan petunjuk Allah dengan kesatuan umat manusia. Petunjuk Allah, sebagai kebenaran ilahi mempunyai sifat yang universal. Dia tidak dapat diklaim sebagai milik suatu agama tertentu sebab:

“Kebenaran Ilahi, kata Quran merupakan suatu karunia universal dari Allah. Ini bukan sesuatu yang eksklusif bagi satu kelompok rasa tau seseorng atau kelompok agama dan yang tidak pula secara eksklusif disampaikan melalui satu bahasa tertentu. Tanpa ragu-ragu manusia telah menciptakan batas-batas kebangsaan, geografis dan rasial bagi manusia itu sendiri. Namun, manusia tidak dapat membagi-bagi kebenaran Ilahi dengan cara semacam itu. Kebenaran itu tidak memiliki cap kebangsaan, juga tidak mengakui loyalitas rasial atau geografis atau afiliasi-afiliasi kelompok. Seperti matahari yang diciptakan Allah yang menyinari setiap sudut bumi dan menyinari setiap orang secara sama. Jika manusia ingin memperolehnya, jangan cari di suatu sudut tertentu. Ia kelihatan dengan jelas di mana-mana dan telah diketahui di setiap zaman. Jangan memuja komunitas-komunitas manusia, Negeri, bahasa-bahasa atau kelompok manusia. Sebab manusia harus memuja hanya kepada Allah dan menjunjung tinggi kebenaran universal-Nya. Kebenaran Allah di mana pun dan dalam bentuk apa pun harus dicari, itu adalah harta manusia yang sangat berharga dan manusia adalah ahli warisnya. 

Azad menjelaskan bahwa petunjuk wahyu universal yang berasal dari Allah yang Esa ini diberi nama Ad-Din, yakni “sang agama” atau “sang jalan kehidupan”.  Artinya bahwa jalan yang lurus, jalan yang diharapkankan sebagai jalan dari mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah. Sehingga jalan ini berbeda dengan jalan yang dibuat oleh manusia karena jalan ini merupakan jalan yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Jadi, ini bukan jalan dari mereka yang patut mendapat murka Allah, juga bukan jalan dari mereka yang tersesat.

Islam mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan sangat sederhana. Dalam hal akidah dan keimanan, yang dituntut dari manusia hanya percaya tentang adanya Tuhan dan bahwa Dia itu tunggal Maha Esa, setelah ditunjukkan bukti-bukti dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang ada di alam jagad raya ini. Tetapi manusia memang aneh, bila ia, kata Al-Quran, diajak beriman kepada Tuhan yang tunggal, Yang Maha Esa, yang sederhana, ia tidak mau percaya bahkan menjadi kafir, tetapi bila ia diajak menyembah Tuhan yang banyak, dan Tuhan itu dipersekutukan dengan yang lain, dengan makhluk-Nya, ia mudah percaya.  Dengan kata lain, Islam adalah kepatuhan kepada Allah yang esa, yang telah menciptakan kemanusiaan dengan tanggung jawab yang jelas. Allah menciptakan alam semesta sebagai suatu keutuhan yang tertata dan memimpin seluruh gerak alam semesta. Seluruh alam pada hakikatnya tunduk kepada kehendak Allah. Dalam kaitan inilah muncul implikasi dari diturunkannya Islam yaitu sebagai tantangan. Pengertian tantangan di sini adalah sebuah ajakan yang dibawa Nabi Muhammad kepada semua umat manusia untuk kembali kepada konsep dasar agama tauhid yaitu penegasan kepada Allah SWT. 

Agama Yahudi

Konsep agama Yahudi mengenai universalitas ialah bahwa Allah telah memilih bangsa Yahudi dan memberikan taurat sebagai jalan keselamatan kepada mereka. Hal inilah cara yang harus ditempuh orang Yahudi agar mereka tetap setia kepada Allah dan menggenapi perintah Allah untuk menjadi bangsa yang benar. Secara historis, orang Yahudi telah dikepung oleh bangsa-bangsa imperialistis – Kekaisaran Helenistik, Yunani-Romawi, Islam dan Kristen yang masing-masing mengklaim bahwa mereka mempunyai kunci bagi satu umat manusia dan satu-satunya hubungan otentik dengan yang ilahi. Orang Yahudi telah mempertahankan keberbedaan mereka dengan melawan klaim-klaim universalistis ini dan pada gilirannya, karena kegagalan mereka untuk berasimilasi, telah dianggap oleh pihak-pihak lain sebagai orang yang suka melawan dan bermusuhan. Bagi orang Yahudi, asimilasi sama seperti penganiayaan yang telah menjadi ancaman besar bagi status mereka sebagai sebuah bangsa yang khusus. 

Dalam hal pemilihan, gerak ke arah sentripetal sebenarnya sudah terjadi pada bangsa Israel sejak mereka – kaum keturunan kaum bapa bangsa (Abraham, Ishak, dan Yakub) – mulai membentuk diri sebagai komunitas nasional yang baru. Ziarah sentripetal jelas kelihatan ketika bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian. Sadar atau tidak sadar proses eksodus ini ikut membuat bangsa Israel menjadi bangsa yang separatis dan eksklusif terhadap bangsa-bangsa lain. Lebih-lebih ketika peristiwa ini dilihat sebagai saat-saat sakral dan mereka mengalaminya sebagai campur tangan Allah di dalam keseharian mereka dan diri mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Sebagai konsekuensi dari jati diri Israel yang eksklusif ialah tidak ada atau tidak perlunya kegiatan misioner untuk merambatkan iman ke luar lingkup kehidupan dan masyarakat Yahudi. Israel tidak diutus untuk mewartakan dan menyebarkan imannya akan Yahwe kepada bangsa-bangsa non-Israel. Walaupun mereka secara berkala dan teratur merayakan peristiwa-peristiwa penyelamatan dirinya, namun perayaan tersebut hanya demi kepentingan komunitasnya sendiri. Sebagai bangsa, Israel hanya perlu menjadi umat Allah yang setia kepada janji dan mempersiapkan Yerusalem sebaik-baiknya untuk menjadi kota Allah, tempat tujuan ziarah segala bangsa. Kalaupun ada tokoh (biasanya para nabi) yang dipanggil dan diutus oleh Yahwe, namun perutusan tersebut pada dasarnya tertuju hanya kepada bangsa Israel. 

Agama Hindu

Di dalam kitab suci “weda” menanamkan dasar-dasar keyakinan yang universal dengan Panca Sradha sebagai pedoman dasar keyakinan umat Hindu dan merupakan nilai kehidupan baik dalam kerohanian maupun mencapai kesejahteraan hidup damai. Panca Sradha terdiri dari kata “panca” yang berarti “lima”, dan “sradha” berarti “kepercayaan”. Sehingga Panca Sradha adalah lima dasar-dasar kepercayaan umat Hindu. Kelima kepercayaan umat Hindu dalam Panca Sradha terdiri dari: percaya akan adanya Syang Hyang Widhi Wasa atau Brahman, percaya akan adanya Atman, percaya akan adanya Karmaphala, percaya akan adanya Punarbhawa; samsara, percaya akan adanya Moksa.  

Kelima dasar kepercayaan ini merupakan pedoman dasar menghayati Weda sebagai pedoman hidup kepercayaan yang universal. Panca Sradha juga merupakan “Rta” atau garis-garis hukum kepercayaan sebagai nilai-nilai kehidupan yang menjadi landasan bagi umat Hindu untuk mencapai tujuan hidupnya yang utama. Bagi umat Hindu keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa adalah hal yang harus dimiliki oleh umat manusia, sehingga manusia pun akhirnya memiliki pengetahuan akan dirinya sendiri. Memiliki pengetahuan akan hidupnya, mengapa manusia harus diciptakan, mengenal lingkungannya secara benar dan tahu akan tujuan hidupnya. Di dalam Panca Sradha, kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa adalah urutan yang paling atas bagi dasar keyakinan yang paling utama yang harus dimiliki.  Dan juga konsep “Tri Hita Karana” di dalam agama Hindu merupakan konsep yang sangat mendasar dengan tekanan pada prinsip keseimbangan kehidupan. Pengertian konsep Tri Hita Karana berdasarkan keseimbangan hubungan  (kesejahteraan) antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa  (paryangan), hubungan harmonis antara sesama manusia (pawongan), keserasian antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). 

Di dalam Bhagawadgita diadakan sintesis terhadap segala ajaran kelepasan, baik yang melalui amal (karmamarga), maupun yang melalui pengetahuan (jnanamarga). Lebih dari itu Bhagawadgita mengajarkan adanya kemungkinan ketiga, yaitu kelepasan melalui bakti atau penyerahan diri (baktimarga). Dalam hal ini, semua orang dapat mencapai kelepasan, sesuai dengan bakat masing-masing. Yang lebih suka pada amal akan selamat, sama dengan mereka yang lebih menyukai akan pengetahuan (juana) dan sama dengan mereka yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berserah kepada Tuhan (bakti). Hal ini disebabkan karena Tuhan adalah sadcidananda, artinya Tuhan adalah realitas, kkebenaran dan kebangkitan. 



Agama Buddha

Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran agama Buddha seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran tentang Tuhan atau tokoh yang dipertuhankan. Sebab tujuan hidup bukan untuk kembali pada asalnya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk ke dalam Nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa kesadaran, suatu keadaan di mana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai. Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa Buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah yang universal, di mana suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat.  Memang harus diakui bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah Nirwana, pemadaman, situasi padam, dan bukan tokoh yang memadamkan. Tidak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada di belakang suasana damai itu. Tidak ada gagasan tentang pemberi hukum, yang ada adalah hukum, tata tertib baik yang alamiah maupun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, di belakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan Yang dipertuhan tadi. Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu dikaburkan menjadi sesuatu yang tak berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada hubungan aku-Engkau antara manusia dengan Yang dipertuhankan. Tetapi bagaimanapun Buddhisme adalah suatu ajaran kelepasan yang universal, suatu ajaran yang ingin membawa manusia pada kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidaklah bebas. 


Definisi Keselamatan

Secara epistemologis, “keselamatan” berasal dari kata dasar “selamat” yang berarti “terhindar dari bencana, aman sentosa, sejahtera, tidak kurang suatu apa pun, sehat, tidak mencapai gangguan, beruntung, tidak gagal”.  Secara umum kata “keselamatan” berasal dari bahasa Ibrani yaitu Syalom, dalam bahasa Arab yaitu “salam” yang berarti “kesejahteraan, kebahagiaan” dan dalam bahasa Yunani yaitu “Soteria”. Tetapi kata “selamat” dalam arti negatif: terhindar dari bencana. Lalu juga mendapat arti positif, seperti “beruntung, tetapi selalu dengan pikiran tidak mendapat gangguan, tidak gagal, bahkan tidak kurang apa-apa. Pada umumnya, keselamatan adalah sesuatu yang diharapkan, dicita-citakan, bukanlah sesuatu yang sudah dinikmati. Lebih kerap, keselamatan berarti pembebasan dari ancaman atau dari bencana yang konkret. 

Keselamatan berasal dari anugerah Allah, sebab Perjanjian Lama menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya adalah berdosa, dan menceritakan tentang perjanjian yang diberikan Tuhan kepada umat pilihan. Perjanjiannya termasuk perjanjian kepada Abraham, yaitu bahwa melalui Abraham semua bangsa di bumi akan diberkati. Tuhan menunjukkan karya penyelamatannya di sepanjang sejarah Israel dan juga menjanjikan Mesias yang akan menyelamatkan manusia dari kuasa dan hukuman dosa. Sosok Mesias tersebut dipenuhi oleh Yesus yang akhirnya mengalahkan seluruh karya Iblis, termasuk penderitaan, penyakit, dan kematian. 

Keselamatan merupakan istilah komprehensif untuk merumuskan keadaan bebas dari penderitaan serta kejahatan, baik dalam lingkup pribadi maupun kolektif. Paska mengenangkan pembebasan melalui air (Kel. 12:1-28; 14:15-31) yang dialami oleh bangsa yang diancam kemusnahan (Kel. 1:8-22). Dalam karya keselamatan ini memang ada beberapa tokoh pembebas yang berperan, tetapi pada dasarnya Allahlah yang menentukan segala-galanya (Kel. 15:1-21; Mzm. 46, 48; 76; 87). Dan dalam PL menekankan segi duniawi keselamatan (Ul. 33:28-29; Yes. 2:1-5), tetapi perjanjian Sinai selalu menyebut segi rohani keselamatan itu (Yeh. 36:22-32). Janji-janji kenabian (Yer. 31:3-34; Yeh. 37:1-14), eskatologis (Yes. 43:5-44:5) dan apokaliptik (Dan. 12:1-3) menunjuk pada keselamatan sebagai pembebasan dari perbudakan dosa dan maut (Mrk. 1:5; Rm. 5:12-7:25; Ibr. 2:14-18). Putra Maria diberi nama “Yesus” (Allah adalah keselamatan) karena “Ia akan membebaskan umat-Nya dari dosa-dosa mereka” (Mat. 1:21; Kis. 4:12). Pemerintahan Allah dan Kerajaan Surga adalah kata lain untuk menggambarkan keselamatan ilahi yang akan menjadi penuh sempurna pada akhir zaman (Rm. 5:8-10; 13:11; Ibr. 9:28; 1 Ptr. 1:5).  Sehingga keselamatan berarti perihal (keadaan) selamat, kesejahteraan, kebahagiaan dan sebagainya.

Keselamatan dalam PL

Dalam bahasa Ibrani kata keselamatan dituliskan dengan kata Yesyu’a (יְשֹׁוּעָה) yang berasal dari kata (ישׁוע) yang artinya keselamatan, pertolongan (Yun. 2:10). Maupun hosyia (הֺוֺשִיֹעַ) yang berarti menyelamatkan, membebaskan (Mzm. 116:6). Hosyia ini juga diartikan sebagai penerimaan kepada Allah, membawa pertolongan kepada orang-orang yang berada dalam masalah, memberikan pembebasan kepada orang yang terikat. Kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan kata salvation yaitu keselamatan. 

Kata yesua dan hosyia ini adalah kata yang dipakai berdasarkan kepada suatu kejadian yang terjadi seturut dengan kehendak Allah. Artinya ialah, kata ini dipakai untuk menunjukkan bahwa keselamatan, pertolongan, pembebasan, ini dilakukan oleh Allah. hal ini menjelaskan bahwa keselamatan, pembebasan dan pertolongan ini adalah memang benar-benar bersumber dari Allah. Keselamatan menurut PL mempunyai unsur-unsur baik yang tertuju kepada manusia maupun yang tertuju kepada Allah. Manusia terancam bahaya penyakit, musibah fisik, penganiayaan oleh lawan dan kematian. Dalam persekutuan umat pilihan Allah, keterbelengguan (ketertawanan) merupakan pengalaman nyata yang daripadanya kelepasan mutlak diperlukan, dan gagasan-gagasan tentang keselamatan terutama yang bersifat kesukaan dan duniawi. Bahaya yang lebih gawat adalah di mana perseorangan dan masyarakat berdiri di hadirat Allah, yang kehendak-Nya sudah mereka langgar dan yang murka-Nya telah menimpa mereka.

Alat keselamatan, langsung atau tidak langsung disediakan melalui para Bapak leluhur, hakim, pemberi hukum, imam, raja dan nabi. Hukum, baik bersifat ritual maupun moral, akibat dosa manusia tidak mampu memberikan keselamatan yang penuh tapi menunjukkan ciri dan tuntutan Allah dan kondisi kesejahteraan manusia. Juga dalam batas-batas tertentu mengerem kesalahan manusia, tapi penyalahgunaannya sebagai aturan moral melahirkan legalisme dua muka. Pertama, keterikatan secara lahiriah kepada peraturan-peraturan telah kehilangan kenyataan spiritual yang terdalam. Kedua, pencapaian manusia dibeberkan di hadapan Allah dalam tuntutan yang bersifat membenarkan diri sendiri, untuk memperoleh keselamatan.

Kekakuan upacara terancam oleh bahaya yang sama, tetapi sementara kemuncak penyelenggaraan upacara – hari pendamaian – hanya menggenapi pengampunan atas dosa-dosa yang tidak disengaja, maka rinciannya menunjuk ke depan kepada datangnya keselamatan sejati. Penekanan nabi-nabi akan betapa perlunya perubahan batiniah, menggarisbawahi bobot kesalahan perbuatan manusia. Juga membimbing kepada ramalan tentang keselamatan mesianis yang apokaliptik, bila Allah sesuai janji-Nya akan datang sendiri dalam keselamatan sebagai Allah yang adil dan Juruselamat (Yes. 44:17; Dan. 7:13). Ajaran PL tentang keselamatan mencapai puncaknya dalam gambar hamba yang menderita (lih. Yes. 53). Dalam hal ini PL menyediakan adegan untuk keselamatan dalam PB. 

Keselamatan dalam PB

Dalam bahasa Yunani, kata keselamatan dituliskan dengan kata yang pertama: soteria (σωτηρια) yang artinya saving, keeping, benefitting, preserving, the inner being yaitu menyelamatkan, menjaga, memelihara, menjadi bagian yang dalam. Kata soteria juga dapat diartikan sebagai keselamatan, perlindungan atau pembebasan. Dan yang kedua sozo (σώζω) yang artinya menyelamatkan, menjaga, melindungi, melepaskan dari bahaya, membebaskan dari penyakit, tumbuh dengan subur, menjadi  makmur.  Di dalam Perjanjian Baru arti yang lebih tampak dari kata selamat adalah cenderung kepada arti dan makna yang lebih terinci dan jelas. Hal ini dapat dilihat dari arti kata soteria dan sozo yang artinya menjaga, memelihara, bebas dari penyakit, atau sembuh. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa hal sederhana yang dilakukan seperti menjaga dan juga hal-hal besar seperti menjadi subur atau makmur adalah diartikan sebagai keadaan yang selamat. 

Kata keselamatan diucapkan hanya satu kali oleh Yesus (Luk. 19:9). Ayat tersebut dapat mengacu kepada diri-Nya sendiri sebagai kandungan keselamatan yang memberikan pengampunan kepada Zakheus atau kepada sesuatu yang nyata oleh perubahan tindakan yang dilakukan oleh pemungut cukai itu. Tetapi Tuhan Yesus menggunakan kata kerja “selamat” dan istilah-istilah yang serupa untuk menyatakan pertama-tama apa yang akan dilakukan-Nya dalam kedatangan-Nya (Mrk. 3:4 secara implikatif dan secara langsung Luk. 4:18; 9:56; Mat. 18:11; 20:28) dan kedua, apa yang dituntut dari manusia (Mrk. 8:35; Luk. 7:50; 8:12; 13:24; Mat. 10:22). Lukas 18:26 dan konteksnya menunjukkan bahwa keselamatan menghimbau hati yang menyesal, sifat seperti kanak-kanak, ketidakberdayaan diri yang pasrah menderita dan penyangkalan segala sesuatu demi Kristus – kondisi-kondisi yang mustahil dapat dipenuhi manusia tanpa bantuan. Kesaksian orang-orang lain terhadap karya penyelamatan Tuhan Yesus baik langsung (Mat. 8:17) maupun tidak langsung (Mrk. 15:31). Ada juga kesaksian dari nama-Nya sendiri (Mat. 1:21; 23). Semua penggunaan kata “selamat” yang berbeda-beda ini menyatakan bahwa keselamatan sudah hadir dalam pribadi dan pelayanan Kristus, terutama dalam kematian-Nya. 

Pemahaman tentang keselamatan dalam PB jelas mengakui bahwa Kristus wafat dan bangkit untuk menyelamatkan umat manusia yang berdosa (Mrk. 14:24; Yoh. 11:49-52; Rm. 4:25; 5:6-11; 1 Kor. 15:3; 1 Ptr. 1:3). Peranan penyelamatan Kristus dan identitas pribadi-Nya sebagai putera Allah tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana PB memberikan gelar Kristologis kepada Yesus, demikian pula karya penyelamatan-Nya diungkapkan dengan pelbagai istilah, khususnya sebagai pembebasan, penebusan dan kasih yang mengubah (Yoh. 1:29; 13:1; 16:33). Antara lain karena pengaruh Philipp Melanchthon (1497-1560), pemahaman mengenai karya penyelamatan Kristus seringkali dipisahkan dari Kristologi. Juga telaah Soteriologi seringkali mempelajari keselamatan “objektif”, terlepas dari penerimaan “subjektif” melalui rahmat. 

Keselamatan: Bagaimana dan Untuk Apa bagi Agama-agama?

Keselamatan berkaitan erat dengan ritus dan kebaktian, singkatnya dengan adanya agama, ada orang yang berpendapat bahwa keselamatan hanyalah kata lain untuk agama. Bisa dipersoalkan apakah agama pertama-tama dimaksud sebagai sarana untuk mencapai keselamatan. Tetapi kiranya tidak dapat disangkal bahwa dalam semua agama soal keselamatan mendapat perhatian yang sangat besar, kalau bukan yang paling utama. Dan ternyata semua agama mempunyai paham keselamatan sendiri-sendiri. Tetapi dari lain pihak, semua agama berbicara mengenai keselamatan, justru karena berbicara mengenai manusia pada taraf yang paling dalam. Mencolok juga bahwa agama-agama – dengan aneka bentuk dan cara – melihat keselamatan sebagai hidup sempurna, dibandingkan dengan situasi hidup sekarang. Bukan hanya kata “keselamatan” yang mengandung arti pembebasan dari kemalangan; hal sama berlaku untuk kebanyakan bahasa yang lain. 

Maka keselamatan selalu dillihat, khususnya dalam agama-agama, sebagai dunia yang lain daripada sekarang. Bisa jadi bahwa cita-cita hanyalah pembebasan dari situasi sekarang, tanpa membayangkan bagaimana keadaan ideal; bisa juga bahwa orang berusaha untuk menggambarkan situasi yang ideal itu berpangkal pada keadaan hidup sekarang. Kiranya hal itu berhubungan dengan makna agama sendiri. Menurut para ahli sosiologi agama, manusia selalu mencoba membentuk suatu kosmos yang keramat. Artinya bahwa, suatu kosmos yang punya daya kekuatan yang misterius. Hal itu berlaku untuk objek-objek tertentu di dunia ini, seperti pohon yang keramat, gunung, sungai, binatang, atau manusia maupun roh-roh  kekuatan yang menggerakkan dunia dari atas. Dalam dunia ideal itu, yang dalam segala hal melebihi dunia yang real, orang menemukan pegangan hidup dalam situasi yang serba mengancam. Dan agama harus menghubungkan manusia dengan dunia keramat itu. Banyak orang khususnya yang “beragama” akan menyebut agama semacam “magi”, guna-guna. Dan memang tidak dapat dikatakan bahwa pandangan sosiologis itu memberikan gambaran agama yang lengkap dan utuh. Tetapi dari lain pihak, pantas diperhatikan juga betapa banyak unsur magi ditemukan dalam agama-agama, juga dalam agama yang menyebut diri “agama wahyu”. Tidak dapat disangkal bahwa semua agama, juga yang dimaksud sebagai ungkapan iman terhadap wahyu dari surga, merupakan suatu instansi dan kegiatan manusia yang diwujudkan menurut pandangan dan pemahaman manusia. Dalam arti itu, agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, tidak dapat ditolak kemungkinan campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia. Jadi, agama sebagai institusi sakral di dunia ini selalu merupakan pekerjaan manusia. Dan a priori harus diakui kemungkinan bahwa di dalamnya terwujudkan keinginan manusia untuk mengatasi keterbatasan hidupnya di dunia ini. 

Oleh sebab itu, manusia menempuh jalan (usaha) nonreligius selama ia masih sanggup merebut kebahagiaan itu dengan kekuatan manusiawinya sendiri. Jalan (usaha) yang kedua ditempuhnya segera ialah ketika manusia mengalami (dan dari situ meyakini) ketidakmampuannya, atau terbatasnya kekuatan manusia secara radikal dan total. Dengan kata lain, di mana manusia tak berdaya sama sekali untuk merebut kebahagiaan itu, di situ manusia menjalankan usaha religius. Ini berarti manusia bukan lagi menggunakan kekuatan sendiri, tetapi “tenaga lain” yang dipercayai berada di dunia lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, namun dirasa bisa membantunya. Inilah yang disebut agama dengan tujuan untuk keselamatan, kebahagiaan umatnya. 

Lingkup Soteriologi/ Keselamatan dalam Agama-Agama

Di dalam kekristenan, konsep keselamatan merupakan salah satu isu utama dan menempati kedudukan yang sentral dalam teologi Kristen. Studi teologi untuk hal keselamatan disebut soteriologi yaitu tentang bagaimana keselamatan dapat dicapai dan apa saja yang memengaruhi keselamatan, dan hasilnya. Keselamatan juga disebut sebagai "pelepasan" atau "penebusan" dari dosa dan pengaruh dosa. Menurut kepercayaan Kristen tidak ada orang yang dapat memperoleh keselamatan melalui usaha mereka sendiri, baik itu dengan ritus-ritus, perbuatan baik, persembahan, meditasi atau cara-cara lainnya. Keselamatan hanya bisa diterima karena telah diberikan secara cuma-cuma oleh kematian Yesus di kayu salib. Untuk menerima keselamatan pertama-tama seseorang harus mengakui keberadaannya yang berdosa terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan penerimaan karya penebusan Kristus, yang disebut sebagai "pertobatan". Istilah "pertobatan" memiliki makna lebih dari sekedar menyesali perbuatannya yang salah. Pertobatan harus disertai dengan perubahan mentalitas. 

Tanpa atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan, baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (yang tumbuh dari naluri manusia sendiri) itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang “terakhir”, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada di luar batas kekuatan manusia (breaking points). Orang berpendapat bahwa hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitif, entah dalam masyarakat modern.

Kesanggupan apa saja yang dilakukan homo religious kepada agama? Dalam hal ini agama dibagi dalam dua kategori yang dibuat oleh para ahli agama. Yang pertama ialah agama alamiah dan yang kedua agama wahyu. Yang disebut agama alamiah ialah agama yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Dalam hal ini manusialah yang mencari ilah atau Tuhan. Sedangkan agama wahyu ialah agama yang berkomunikasi dengan manusia dan mewahyukan seperangkat kebenaran (dogma, moral dan cara peribadatan) kepada manusia. Dikatakan bahwa kebenaran-kebenaran wahyu itu sifatnya transenden mutlak dan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia. Meskipun demikian adanya, manusia harus menerimanya dengan iman karena Tuhan sendirilah menjadi jaminan yang tak tergoncangkan. Sebaliknya kebenaran-kebenaran agama alamiah mengandung kelemahan akibat keterbatasan manusia sebagai penciptanya. Betapapun perbedaan antara dua jenis agama tersebut di muka mengenai isi ajarannya dan mengenai taraf kecerdasan pemeluk-pemeluknya yang dari masa ke masa terus berkembang berkat kemajuan ilmu pengetahuan dalam tingkat kebudayaan yang berbeda-beda, namun para ahli sosiologi dengan jalan membanding-bandingkan pengakuan (keyakinan) para pemeluknya yang dapat dikumpulkan, tidak menghadapi kesulitan yang berarti untuk menyimpulkan bahwa dari antara agama yang berbeda-beda itu didapati titik-titik persamaan yang sifatnya universal.  Khususnya dalam hal fungsi agama bagi manusia yang tak berdaya menghadapi problem terakhir yang berkaitan dengan alam transendental, teristimewa mengenai hubungannya dengan “yang gaib”, “yang sakral” dan apalagi dengan Tuhan. 

Keselamatan Menurut Agama-Agama

Keselamatan Menurut Agama Yahudi

Walaupun Tuhan telah menyatakan bahwa bangsa Israel merupakan bangsa terpilih yang dicintai Tuhan dan mendapat perlindungan Tuhan, namun mereka selalu mengalami segala macam cobaan Tuhan, sehingga tidak luput dari berbagai penderitaan, maka mereka ingin mengharapkan kedatangan juruselamat, sebagaimana leluhurnya Yusuf menyelamatkan saudara-saudaranya dari bahaya kelaparan dan kedatangan Musa menyelamatkan mereka dari perbudakan di Mesir. Gambaran juruselamat yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu sebagai Mesiah (Al-Masih) akan menjadi Ratu Adil bagi kehidupan mereka, bukanlah manusia biasa tetapi merupakan manusia suci yang dekat dengan Tuhan. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa Mesiah itu akan datang dari keturunan Daud dan ada yang berpendapat lain, oleh karena tidak kunjung datang sehingga ada asumsi lain yang mengatakan mungkin dari keturunan yang lain selain Daud.  Oleh karena itu, agama Yahudi telah lupa akan sifat universal keselamatan dan membatasi buah-buahnya pada bangsa Yahudi saja, sehingga tidak ada keselamatan di luar agama Yahudi.  Di dalam Al-Kitab tentang juruselamat dikatakan:

“Karena itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: sesungguhnya seorang wanita muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak lelaki dan ia akan menamakannya imanuel. Ia akan makan dadih dan madu sampai ia tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik, maka negeri yang kedua Rajanya engkau takuti akan ditinggalkan kosong. Tuhan akan mendatangkan atasmu dan atas rakyatmu dan atas kaum keluargamu hari-hari seperti yang belum pernah datang sejak Efraim menjauhkan diri dari Yehuda… (Yes. 7:14-17)”.

“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang telah diberikan untuk kita, lambang pemerintahan ada di atas bahunya dan namanya disebutkan orang penasihat ajaib, Allah yang perkasa, Bapak yang kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas tahta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya…. (Yes. 8:5-6).

Demikian dasar alasan akan datangnya juruselamat sebagai utusan Tuhan kepada orang-orang Israel yang senantiasa dinantikannya, menurut Al-Kitab Perjanjian Lama.  Karena sejarah bagi orang-orang Yahudi berarti perwujudan rencana Allah dengan kerjasama dari manusia, maka tugas utama manusia adalah memenuhi kewajiban-kewajiban. Perhatian langsung mereka ialah mendengarkan dan menaati kehendak Tuhan sebagaimana yang dinyatakan dalam hukum (tora). Apa pun yang diperintahkan dan dikehendaki Allah, baik itu upacara, puasa, perintah, demi kepentingan masyarakat atau bangsa, akan segera diikuti dan dilaksanakan sebagai kehendak Allah untuk memajukan kehendak-Nya dan dengan demikian memberikan keselamatan serta kebahagiaan individual. 



Keselamatan Menurut Agama Islam

Menurut Islam, jalan umum keselamatan bagi seorang muslim adalah mengikuti perintah-perintah Allah dan teladan Rasul, serta menaati hukum. Muslim hendaknya melaksanakan imannya dengan menjalankan pujaan (doa ritual, Ramadhan, ziarah) dengan memperhatikan kaum miskin. Gagasan dosa dalam Qur’an adalah perlawanan terhadap perintah-perintah dan keputusan-keputusan ilahi. Sehingga dosa menurut muslim bukan diwariskan melainkan diperoleh dari perbuatan manusia itu sendiri.  Menurut teologi muslim, kegagalan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah digariskan itu mengakibatkan sikap yang keliru kepada Allah dan kebanggaan yang salah, yang begitu berbahaya karena mengantar orang pada sikap tidak beragama dan ateis. 

Jadi, bagi agama Islam tidak ada keperluan penebusan, tidak ada metode pertobatan lewat jalan penebusan. Sebagaimana dikatakan Gardner :

“Pesan yang termuat dalam seluruh Qur’an ialah bahwa penyesalan haruslah jujur, ini bukan hal yang sangat sukar, sedangkan pengampunan adalah persoalan yang hampir tidak perlu diributkan, amatlah mudah memperolehnya. Muhammad tidak pernah memperlihatkan keresahan hati dan kegelisahan di hadapan Tuhan yang murni dan suci. Dan oleh karena itu tidak menuntut orang lain supaya mengalami apa yang ia sendiri tidak alami.”

Setelah terlibat dalam dosa, seseorang harus ingat akan Allah dan memohon ampun bagi dosa-dosanya dan Allahlah yang dapat mengampuni dosa-dosa umat-Nya. Inilah semua yang dituntut Allah, dan Allah dipandang sebagai penyelamat orang yang Ia kehendaki, lepas dari syarat moral di pihak orang yang percaya. 

Paham keselamatan dalam Islam bersifat eskatologis, di mana iman akan hari kiamat termasuk rukun iman, di samping iman akan Allah, akan malaikat dan rasul-rasul-Nya serta kitab-kitab suci dan akan qodar, ketetapan Allah mengenai baik dan buruk dalam hidup (Q. 2:177). Keselamatan adalah pahala untuk hidup di dunia dan kebebasan dari hukuman (lih. Q. 56; juga 2:25; 7:41; 22:19-21; 25:16; 76:13-22) artinya bahwa Allah sendiri yang menentukan keselamatan manusia dengan mengadilinya pada hari kiamat, sesuai dengan sikapnya terhadap Allah dan perintah-perintah-Nya. Sebab hari terakhir itu disebut “hari kebangkitan”: kiamat, tetapi belum kebangkitan untuk kebahagiaan melainkan untuk penghakiman. Orang dihakimi menurut iman dan ketaatan mereka terhadap Allah. Yang menentukan adalah sikap terhadap Allah. Ketaatan itu terungkap terutama dengan lima rukun Islam yaitu: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Maka rukun itu boleh dipandang sebagai “sarana keselamatan”. Dalam arti sesungguhnya, Islam tidak mengenal seorang “pengantara” pada keselamatan. Juga tidak ada suatu “sejarah keselamatan”. Yang ada “sejarah kenabian” di mana Allah terus-menerus mengutus nabi-nabi-Nya yang sudah diberikan kepada Adam. Setiap orang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri dan tidak ada orang yang di dunia ini dapat mempunyai kepastian mengenai nasib kekalnya. Tetapi Allah yang adalah “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (Q. 1:1) membuat manusia terus-menerus dengan memberikan cahaya-Nya, khususnya melalui para nabi (Q. 24: 40; juga 2:38). 

Hidup di dunia ini boleh disebut kemalangan karena keberdosaan dan penderitaan serta akhirnya maut walaupun juga ada banyak hal yang baik, khususnya bagi kaum beriman (bnd. Q. 3:148; 16:97; 40:39). Dari situasi itu, tidak ada jalan keluar. Hanya dengan menempuh jalan Allah (bnd. Q. 1:6-7), manusia dapat mengharapkan hidup yang lebih baik. Hidup bahagia itu tergantung dari kelakuannya di dunia ini, yang akan diadili pada hari kiamat nanti. Keadaan antara maut dan kebangkitan bisanya dilihat sebagai seperti “tidur”. Tetapi pada saat kematian sendiri, orang sudah ditanyai mengenai imannya: Siapa Allahmu? Siapa nabimu? Apa agamamu? Dan kiblat-mu ke mana (ke Mekkah)? Jawaban (sementara) akan menentukan jawaban pada hari kiamat. Masing-masing diadili menurut perbuatan-perbuatannya, yang dicatat dalam sebuah buku yang diberikan kepada setiap orang, kepada yang baik ke dalam tangan kanannya, kepada yang jahat dari belakang ke dalam tangan kiri. Kemudian, semua masih ditimbang untuk mengetahui bobot perbuatan mereka. Sesudah diadili, setiap orang harus melalui suatu jembatan yang tipis seperti rambut dan tajam seperti pedang. Mereka yang berdosa akan jatuh daripadanya dan masuk ke dalam neraka, yang murni masuk ke surga. Di antara yang berdosa, ada yang tetap di neraka karena mereka tidak beriman. Tetapi mereka yang beriman, biarpun tidak sungguh-sungguh taat, hanya untuk sementara berada di neraka (Q. 4:110; 19:60). Dalam arti yang sempit, paham keselamatan dalam Islam berarti kebebasan dari neraka sebab kemalangan dunia ini bersifat sementara: “tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (Q. 20:88). Namun, firdaus berarti suatu perubahan total, terutama karena manusia dibebaskan dari segala rasa takut dan kekhawatiran (Q. 2:62, 112, 262). “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (Q. 10:26). 

Moksha dalam Agama Hindu

Kata kunci untuk keselamatan adalah moksha atau mukti. Kedua kata sansekerta tersebut memiliki akar kata yang sama, yaitu muc yang berarti “membiarkan pergi, bebas dari, melepaskan, membebaskan”. Secara negatif kata tersebut berarti pelepasan, tidak hanya dari keterikatan terhadap keberadaan fana dan penuh penderitaan, tetapi juga dari keterikatan terhadap lingkaran lahir kembali yang tidak mempunyai arti. Secara positif, kata tersebut memuat makna ketenangan, rasa aman dan kepenuhan, kebahagiaan. Berbicara mengenai pembebasan sebagai situasi bersatu dengan Tuhan, penganut Hindu juga menggunakan ungkapan-ungkapan seperti sayujya (persekutuan), sarupya (kesatuan bentuk), samipya (kedekatan) dan salokya (hidup dalam wilayah yang sama). Istilah-istilah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan tempat dari mana mereka mencari keselamatan adalah Karma yang berarti “tindakan”, baik yang bersifat ritual ataupun lainnya dan menunjuk pada hukum tindakan secara umum, di mana setiap tindakan merupakan akibat dari sesuatu sebab dan pada gilirannya menjadi sebab dari suatu akibat lain. Keseluruhan proses sebab akibat yang mengena pada semua eksistensi fenomenal dan yang menampilkan diri dalam lingkaran kematian dan kelahiran kembali ini disebut samsara. Kama adalah keinginan, hasrat, keterikatan terhadap benda-benda duniawi. Ahamkara adalah pembentukan individualitas seseorang, perasaan egoism. Avidya merupakan ketidaktahuan spiritual berkenaan dengan hakikat akhir segala sesuatu. Klesa adalah kesulitan yang diderita dalam keadaan samsara, penderitaan dan kemalangan dari eksistensi fenomenal, khususnya gangguan jiwa karena perasaan-perasaan senang dan sakit. Hal ini merupakan kodrat kejiwaan manusia (manas) dan bukan jati diri nyata. Ada lima macam klesa yaitu ketidaktahuan (avidya), egoisme (ashmita), keinginan (raga), keengganan (dvesha), dan ketegaran dalam eksistensi duniawi (abhinivesha). Papa, yang secara umum diterjemahkan sebagai dosa, mempunyai konotasi yang lebih luas dari segala sesuatu yang buruk, yang mendatangkan kemalangan, dan merugikan. 

Dalam agama Hindu, jalan keselamatan ditentukan oleh kodrat kejahatan dari mana pembebasan mau diperoleh. Untuk melawan tindakan yang merugikan cara yang semestinya adalah berbuat baik dan menghindari yang jahat.  Sebab perbuatan yang baik akan mendapat ganjaran yang baik, dan perbuatan yang buruk akan mendapat ganjaran yang buruk. Tetapi pahala kebahagiaan itu tidak selalu dapat segera dirasakan atau dinikmati, begitu pula setiap perbuatan itu akan meningggalkan bekas yang nyata atau yang tidak nyata. Bekas-bekas perbuatan itu dinamakan “karma-wasana”. Di dalam kitab Wrhaspati Tattwa, 3. dikatakan yang artinya sebagai berikut:

“Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain. Dan pada kelahiran nanti, apakah akibat itu akibat baik atau buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya semuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang disebut “wasana”. Seperti itu juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman, ia melekat padanya, Ia mewarnai Atman.” 

Oleh sebab itu, untuk menentang hasrat, caranya adalah dengan mengawasi dan menaklukkan nafsu seseorang, mengarahkannya pada aktivitas yang tanpa pamrih lewat praktik-praktik askesis dan untuk membersihkan dan mengatasi semua hasrat dengan cinta yang mantap terarah pada Tuhan. Untuk melawan ketidaktahuan, perlu diperoleh pengetahuan rohani tentang kodrat sejati dari jati diri dan dari Tuhan. Oleh karena itu, para penganut Hindu berbicara mengenai tiga jalan keselamatan yaitu: jalan karya , jalan pengetahuan  dan jalan cinta . Ketiga jalan ini saling berkaitan satu sama lain.

Manusia didesak untuk mengerjakan tugas-tugas mereka karena Tuhan sendiri selalu berkarya untuk mempertahankan dunia ke dalam keberadaannya. Dengan melakukan tugas sebaik-baiknya, seseorang akan menyerupai Tuhan, tidak hanya dalam hakikat yang abadi tetapi juga di dalam aktivitasnya. Sebagaimana Tuhan dalam bekerja tidak pernah terlibat atau dipengaruhi oleh prosesnya. Demikian juga hendaknya manusia tetap tidak terikat pada tujuan dari tindakannya, sekalipun itu sesuatu yang baik. Pekerjaan-pekerjaan itu sendiri tidak pernah dapat menghasilkan keselamatan. Keselamatan hanya datang melalui kelepasan total dari pekerjaan itu sendiri dan buahnya.

Dalam artian bahwa semua sarana untuk memperoleh keselamatan mempunyai kesamaan berikut, yakni: mereka mengarah pada kelepasan tuntas dari dan ketidaktertarikan pada semua hal yang bukan jati diri immortal. Hal ini terutama diperoleh lewat penaklukan dari hasrat dan kemarahan. Demikian juga khayalan bahwa jati diri dalam arti apa pun sebagai subjek pelaku. Sebab jikalau pembebasan yang membawa masuk ke dalam suatu keadaan tanpa waktu harus diperoleh sangat perlu disadari bahwa jati diri tidak dapat menjadi subjek pelaku karena tindakan hanya dapat terjadi dalam waktu. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa gita mengajukan pengetahuan sebagai suatu jalan keselamatan. Sebagaimana nyala api membakar kayu menjadi debu, demikian pula api pengetahuan membakar semua tindakan menjadi abu. Yakni dia membebaskan manusia dari kelahiran kembali. Manusia harus memotong semua keraguannya dengan pedang pengetahuan. Siapa pun yang mengetahui kebenaran mistik dari kodrat Tuhan, ia akan dibebaskan dari kelahiran kembali dan pergi menuju Tuhan. Dalam hal ini, nirwana mengambil posisi penting dalam hal keselamatan. 



Moksha dalam Agama Buddha

Buddhis mempostulasikan kemampuan di dalam konteks dua sisi: “tidak ada jiwa” dan “tidak ada Allah”. Karena Buddhis tidak mengakui adanya sumber pertama pembebasan (“tidak ada Allah”), manusia yang semata-mata merupakan rangkaian peristiwa psikofisik yang melayang-layang tanpa substratum (“tidak ada jiwa”) yang kekal, harus mengandalkan “pribadi” sendiri atau citta demi pembebasan (atta-sarana). Karena itu, citta adalah apa yang dikembangkan menuju pencapaian penuh atas Kebebasan Mutlak atau nirwana. Gagasan tentang suatu potensialitas manusia yang sudah ada demi perwujudan kebenaran yang membebaskan adalah praduga yang saling signifikan di dalam soteriologi Buddhis, meskipun hal itu tidak pernah secara eksplisit dianalisis.

Bagi Buddha, kunci untuk kebebasan ialah kesucian batin dan pengertian yang benar, dan karena alasan ini Buddha menolak gagasan bahwa manusia dapat memperoleh keselamatan dengan bergantung pada kekuasaan eksternal (di luar diri). Sebab Buddha bersabda “oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri seseorang menjadi tercemar. Oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan, oleh diri sendiri seseorang tersucikan. Kesucian dan kecemaran tergantung kepada diri sendiri: tak seorang pun orang yang dapat menyucikan diri orang lain.” (Dhammapada, v. 165). Sebab tekanan pada usaha manusia ini, ada kemampuan seseorang untuk membebaskan diri sendiri, adalah satu ciri yang berbeda pada Buddhisme awal dan memberikan satu penegasan yang menakjubkan tentang potensi manusia. Buddha tidak mengklaim suatu status keilahian bagi diri sendiri, maupun menyatakan bahwa dirinya sendiri adalah seorang pengantara bagi keselamatan manusia. Beliau mengklaim sebagai, bukan seorang juru selamat, tetapi seorang pembimbing dan guru, “kamu sendiri yang harus berjuang, Buddha hanya sebagai penunjuk jalan. Mereka-mereka yang bermeditasi dan mempraktikkan sang jalan akan terbebaskan dari belenggu kematian” (Dhammapada, v. 276). Sepanjang pelayanannya beliau mendorong murid-muridnya “jadilah pulau bagi dirimu sendiri, berlindunglah pada dirimu sendiri, tanpa melihat pada satu perlindungan eksternal.” Bahkan diranjang kematiannya beliau memberikan kepada para pengikutnya sepotong nasihat terakhir: “segala sesuatu yang berkondisi merupakan subjek  bagi kelapukan. Capailah sasaran dengan ketekunan.” 

Dalam ajaran Buddha Mahayana, keselamatan adalah dengan usaha manusia ditambah dengan bantuan Bodisatwa.  Artinya bahwa dalam mencapai keselamatan harus melalui karma  dengan tujuan keselamatan secara evolusi, semakin lama semakin sempurna untuk pada akhirnya ia tidak lagi harus masuk dalam materi, tetapi terbebas dan hilang, bersatu dengan jiwa alam semesta. Akan tetapi, di sisi lain karma secara fatal menempatkan manusia sebagai penentu bagi kehidupannya sendiri, termasuk untuk kehidupannya yang akan datang, dan tidak lagi mengakui peranan Tuhan. Dapat dikatakan bahwa ajaran karma menjadikan seseorang menjadi atheis praktis. Dan oleh hukum karma, perpindahan jiwa sebenarnya hampir tidak pernah ada batasnya.

Dalam hal keselamatan, keselamatan dalam agama Buddha adalah mencapai nirwana, terlepas dari roda samsara (penderitaan). Ada tiga langkah menuju nirwana: sila (moral), samadhi (meditasi) dan prajna (pengetahuan). Untuk mencapainya, manusia harus melalui tiga langkah itu dengan sempurna. Golongan Buddha Mahayana, yang lebih modern menjadikan nirwana bukan lagi kekosongan, tetapi tempat kebahagiaan yang sempurna.  Meskipun Sang Buddha tidak menawarkan sendiri penyelamatan (sebagai juruselamat), tetapi ia menawarkan ajaran yang dapat membantu manusia untuk mencari dan menemukan jalan menuju keselamatan. Jalan ini ditempuh oleh masing-masing manusia dengan melatih kesadarannya agar ia menjauh dari segala upaya untuk “mempunyai” sesuatu, karena mempunyai berarti bahwa bukan benda itu yang dipunyai melainkan benda yang mempunyai atau menguasai si pemiliknya–yang menaklukkan hasrat dan hawa nafsunya padanya. Kesadaran manusia harus dilatih untuk menyadari bahwa apa yang diinginkan itu tidak akan bertahan sehingga ia tidak boleh menaklukkan diri pada sesuatu yang fana–yang pada suatu saat harus dilepaskan lagi. 

Yesus Dalam Agama-Agama

Mesias dalam Agama Kristen

Yesus Kristus adalah Tuhan sebab bahwa Dialah yang mempunyai serta menjalankan pemerintahan, yang berkuasa penuh atas hidup dan kematian umat manusia. Yesus Kristus akan tetap berkuasa selama-lamanya di dalam kerajaan yang akan dinyatakan-Nya kelak. Kerajaan Kristus bukanlah dari dunia dan tidak akan tenggelam bersama-sama dengan kekuasaan-kekuasaan dunia ini. Pengakuan Yesus adalah Tuhan tentulah menitikberatkan ke-Illahian Kristus dan menegaskan sekali lagi bahwa ia sungguh-sungguh Allah. Di dalam hakekat Allah Yang Esa itu Yesus Kristus adalah Anak Allah yang bersama-sama dengan Bapa dan Roh Kudus yang kekal. 

Allah di dalam Yesus Kristus maksudnya adalah Allah yang hadir dan bertindak di dalam manusia Yesus. Sebagaimana Allah menyatakan diri kepada bangsa Israel, demikian juga halnya tindakan Allah di dalam Kristus. Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia sebagai Allah penyelamat, tetapi dalam penyataan itu Yesus tidak berubah menjadi manusia ilahi melainkan Ia tetap manusia dalam arti yang sesungguhnya. 

Bagi umat Kristen hal Allah yang menyelamatkan manusia nyata dalam Yesus Kristus yang diberi kedudukan khusus, istimewa dan tunggal dalam hubungan penyelamatan antara Allah dan manusia. Menurut keyakinan Kristen, “keselamatan tidak ada selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12). Kalau Allah itu esa menurut kepercayaan Kristen, maka esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Yesus Kristus (bnd. 1 Tim. 2:5).  Yesus menyelamatkan umat-Nya dari dosa bahkan menyelamatkan dunia sehingga Ia disebut sebagai Juruselamat, bukan guru selamat karena ia mendatangkan keselamatan, bukan mengajarkan keselamatan. Yesus adalah keselamatan itu sendiri yang disebut dengan Yesus yang berasal dari kata Yesua (Tuhan Menolong). Juruselamat juga disebut pengantara, yaitu sebutan bagi orang yang berdiri di antara Allah dan manusia. 

Oleh sebab itu, kekaguman dan penghormatan baginya tidak mengenal batas. Dalam segala hal ia adalah yang terakhir, satu-satunya ukuran untuk kebaikan dan kejahatan, kebenaran atau kepalsuan, satu-satunya harapan untuk masa depan, satu-satunya kekuatan yang dapat membaharui dunia. Para pengikut Yesus meninggikan Dia sebagai yang duduk di sebelah kanan Allah, atau lebih baik, mereka percaya bahwa menurut pandangan Allah Yesus duduk di sebelah kanan-Nya (Kis. 2:33-34; 5:31; Ef. 1:20-23; 1 Kor. 15:24-27; 1 Ptr. 3:21-22; Ibr. 10:12-13). Allah tidak membenarkan pemikiran para pemimpin Yahudi. Mereka menolak Dia, mengkhianati Dia dan menyerahkan Dia untuk dibunuh, tetapi Allah membangkitkan Dia, memuliakannya, meninggikannya dan menjadikannya Tuhan, Mesias, batu penjuru (Kis. 2:22, 36; 3:13-15; 4:11; 5:30; 1 Ptr. 2:4). Yesus dialami sebagai terobosan dalam sejarah manusia. Ia mengatasi segala sesuatu yang pernah dikatakan dan dikerjakan sebelumnya. Dalam segala hal ia adalah yang terakhir, kata yang terakhir. Ia sejajar dengan Allah. Kata-katanya adalah sabda Allah. Rohnya adalah Roh Allah. Perasaan-perasaannya adalah perasaan Allah. Yang ia pertahankan adalah yang ia pertahankan oleh Allah. Dalam artian bahwa tidak ada penghormatan yang lebih tinggi yang dapat dibayangkan. 

Rabbi dalam Agama Yahudi

“Yesus bukan orang Kristen, tetapi orang Yahudi”. Ucapan Julius Wellhausen  ini, menjadi terkenal dan sering dikutip orang. Pernyataan ini pada dasarnya sangat sederhana dan jelas, sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa orang Kristen selalu menyadari betapa luas arti pernyataan ini. Ungkapan ini menyatakan – mungkin secara mengejutkan – betapa sering orang Kristen mengira bahwa mereka sudah memahami dan mengetahui seluruh pribadi-Nya. Mereka lupa bahwa “keselamatan datang dari bangsa Yahudi” sebagaimana terungkap dalam percakapan Yesus di sumur dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:22). 

Menurut Klausner , bagi rakyat Israel Yesus adalah guru moral yang besar. Kode etik-Nya yang ekstrem menjadi harapan masa depan bagi sejumlah kecil umat yang terkucil, yaitu cita-cita berakhirnya dunia lama dan tibanya hari-hari Mesias. Namun etika tersebut tidak cocok untuk negara-negara masa kini. Namun demikian Klausner melihat dalam etika ini suatu keagungan serta keaslian yang tak ada bandingnya. Tidak ada yang dapat menandingi keistimewaan yang mencolok dari perumpamaan-perumpamaan-Nya. Terlepas dari segala mujizat dan mistiknya, maka etika ini menjadi kekayaan Israel yang termulia sepanjang masa.  Ditambah lagi Martin Buber  mengatakan bahwa Yesus “saudaranya” sama seperti Schalom ben Khorin (seorang pengarang berbangsa Yahudi dan teolog), ia memandang Yesus sebagai proto-Yahudi dan sebagai seorang Yahudi asli. Bukunya “saudara Yesus” adalah untuk mendapatkan kembali tradisi dari Ibrani tentang Yesus. Bagi Khorin Yesus bukanlah “Mesias”, bukan “nabi” dan bukan pula “Allah”. Yesus adalah seorang “dokter dan guru” berkebangsaan Yahudi. Penyembuhan ajaib-Nya adalah penyembuhan melalui roh dan tidak dengan obat. Dan alat-alat penyembuhan-Nya adalah berupa “eksorsisme”, di mana kesembuhan dapat terjadi bagi seseorang adalah tergantung bagaimana kepercayaan orang yang disembuhkan atau semua terletak dari hubungan keyakinan antara dokter dan pasien-Nya. Sehingga perbuatan penyembuhan Yesus berhubungan erat dengan pekerjaan pengajaran-Nya. Oleh sebab itu Yesus dikatakan sebagai seorang “guru taurat”. Tetapi pada satu sisi Ia berbeda dengan guru lain, sebab dikatakan Dia mengajar sebagai orang yang berkuasa. 

Oleh sebab itu, sama halnya dikatakan Buber bahwa, Yesus bukan Tuhan. Dan memang hal ini tidak pernah dikatakan Yesus sendiri. Burber melihat ajaran Kristus sebagai suatu pemutarbalikan, di mana Paulus dan Yohanes terutama bertanggung jawab atasnya. Seluruh gagasan mengenai inkarnasi ia anggap sama sekali bertentangan dengan kepercayaan akan Allah berdasarkan Perjanjian Lama. Begitu pula menurut Burber, Yesus bukan Mesias, sebab orang Yahudi yakin bahwa dunia ini bukan dunia yang telah ditebus. Orang Yahudi merasakan secara badani, ia mencicipi betapa beban dunia yang belum ditebus itu menekannya. Dua keyakinan dasar bangsa Yahudi disebut Burber, yaitu penyataan diri Allah tanpa inkarnasi serta perjalanan sejarah tanpa celah. Dari pemahaman tersebut, mengandung perbedaan antara dunia Yahudi dan dunia Kristen yang tidak terjembatani.  

Hal ini diungkapkan Burber karena ia memahami bahwa Yesus adalah salah seorang barisan pengkhotbah dan guru bangsa Yahudi. Pemberitaan Yesus adalah asli Yahudi, seperti Perjanjian Lama dan keyahudian Dia memberitakan tentang kerajaan Allah, pertobatan dan kepercayaan kepada Dia diartikan sebagai keyakinan. Sebab Burber mengerti partai Yahudi dari orang Farisi, maka Burber menempatkan Yesus dalam hubungannya dengan kefarisian yang sentral. Tetapi menurut Burber, Yesus tidak memperhatikan jarak antara Tuhan dan manusia.  Oleh sebab itu, orang Yahudi melihat yang menjadi kesalahan dari orang Kristen, seperti yang dikatakan Burber adalah bahwa mereka ingin mengikat Allah pada penyataan diri ini.

“Kami tidak mengatakan bahwa Allah tidak dapat menyatakan diri. Namun kami tidak melihat penyataan-Nya sebagai tak terbandingi, begitu pula tidak diberi sifat inkarnasi pada penyataan diri-Nya. Allah berada di atas segala manifestasi-Nya.”

Bagi umat Kristen, sifat terselubungi keadaan tak ada gambar dari Allah, tidak cukup; mereka telah “menangkap-Nya” di dalam gambar Yesus Kristus. Kini Ia telah mendapat roman muka Yesus bagi orang Kristen. Karena Yesus Kristus, hubungan langsung antara Allah dan manusia terganggu, jalan masuk telah terlarang. Menurut Burber, ini bukan kesalahan Yesus, yang manusia sejati. Akan tetapi, disebabkan oleh “gambaran Yesus” sebagaimana disampaikan kepada bangsa-bangsa, terutama oleh Paulus dan Yohanes. Dan bagi Israel, Yesus bukan penjelmaan Allah, bukan penyataan diri Allah yang absolut, yang menutup segala interpretasi lain dan bukan pula perantara.  Alasan fundamental orang Yahudi menolak penyataan Kristen adalah mereka tidak dapat menerima bahwa Allah mempunyai anak atau bahwa Anak Allah menderita dan mati sebab: “mulut manusia dilarang berkata, “Yang Maha Kudus, terpujilah Dia mempunyai seorang anak.” Jika Allah tidak dapat melihat dengan kesedihan mendalam ketika Abraham mengorbankan anaknya, mungkinkah Ia kemudian rela menderita karena Anak-Nya sendiri dibunuh, tanpa membinasakan seluruh dunia?.  Sebab bangsa Yahudi hingga saat ini masih menunggu kedatangan sang Kristus (Meshiah, Mesias).

Isa Al-Masih dalam Agama Islam

Menurut Islam, Yesus (Isa) bukanlah salah satu dari Allah Tritunggalnya Kekristenan Nisean dan juga bukan putra yang seperti malaikat agung sebagaimana diyakini oleh kaum Arian. Menurut para teolog muslim, Yesus adalah manusia yang mendapat ilham dari Allah, seorang jenius spiritual yang dapat disejajarkan dalam deretan para nabi besar, termasuk Musa dan Muhammad sendiri.  Yesus adalah nabi yang kontroversial. Dia satu-satunya nabi dalam Al-Qur’an yang dengan sengaja mengambil jarak antara dirinya dan doktrin yang diyakini umatnya sebagai ucapannya. Istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan hal ini adalah “penyucian” (Q.S. Al Imran 3:55) Yesus akan disucikan dari berbagai keyakinan sesat yang dianut oleh para pengikutnya dan Yesus sendiri kemudian memainkan peranan yang aktif dalam proses penyucian tersebut. Dalam menjawab kepada Tuhan, Yesus jelas-jelas membantah bahwa dirinya mendukung triteisme. Sementara itu, Tuhan (dalam versi Al-Qur’an) menolak penyaliban Yesus, namun tidak menolak peran kenabiannya. Oleh sebab itu, persoalannya bukan sekedar bagaimana menceritakan kembali kisah Yesus yang akurat. Melainkan terdapat kesulitan doktrinal utama antara versi Kristen mengenai kehidupan Yesus dan ajaran-ajarannya dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan arti bahwa Yesus tidak seperti nabi lain, melainkan Yesus dalam Al-Qur’an senantiasa meletupkan polemik. 

Sehingga menurut para teolog Muslim, para teolog dari agama Kristen telah keliru dan telah menyimpang dari ajaran-ajarannya yang asli. Betapa banyak para sarjana dan pemikir yang tetap menganut agama Kristen, secara berangsur-angsur mengakui kebenaran agama Islam, sekalipun tanpa mereka sadari. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Maneh Hammad Al-Johani  bahwa semakin banyak studi ilmiah maupun studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari Islam sehingga mereka (baca: para sarjana) semakin mengakui kebenaran Islam. Dengan perkataan lain, kebenaran Islam akan lebih terang dengan berjalannya waktu. Allah telah mengisyaratkan hal itu di dalam Al-Qur’an sebagai berikut: 

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”

Pandangan Islam tentang Yesus terletak di antara dua kutub ekstrem. Di satu pihak, orang-orang Yahudi menolak Yesus sebagai nabi Allah, bahkan menyebutnya sebagai seorang pendusta. Sedangkan di pihak lain, orang-orang Nasrani memandangnya sebagai Anak Allah dan menyembahnya. Yang sangat bertentangan dengan pandangan Islam tentang keesaan Allah, keesaan bimbingan ilahi dan peran saling melengkapi di antara Rasul Allah dengan risalah mereka masing-masing. 

Menurut Al-Qur’an, perbedaan yang paling dasariah antara Allah dan makhluk-Nya ialah bahwa Allah itu kekal – Mahahidup, Mahakuasa, Mahatahu, dan lain-lain. Sementara semua makhluk itu fana. Allah yang Kekal telah menciptakan segala sesuatu “menurut ukurannya” (Surah 54:49). Hanya Dialah yang menjadi “pengukur (qadir)”, sementara yang lain-lainnya adalah “yang diukur (maqdur)”. Gagasan ini tersebar di dalam Al-Qur’an. Ini bukanlah doktrin “pra-determinisme”, seperti yang dipahami oleh banyak teolog Muslim di Abad Pertengahan. “Mengukur” di dalam konteks ini semata-mata berarti “keterbatasan” kemampuan, meskipun kemampuan itu merentang luas. Manusia, misalnya diakui oleh Al-Qur’an memiliki kemampuan-kemampuan yang besar. Namun manusia tidak dapat menjadi Allah.

Karena ketidakterbatasan Allah itulah maka kemurahan dan kuasa yang mutlak hanya dapat dimiliki oleh Allah semata-mata. Kemurahan Allah secara harafiah tidak terbatas (Surah 40:7; 7:156), bahkan kemurahan adalah hukum yang tertulis di dalam hakikat Allah (Surah 6:12). Dan kenyataan bahwa ada kebenaran yang demikian banyak dibandingkan dengan kehampaan dari ketidakberadaan (non-being) adalah ungkapan dari tindakan pertama kemurahan Allah. Kuasa Allah sejajar dengan belas kasih-Nya. Dan manusia tidak dapat menunjuk kepada siapa pun, dengan keterbatasan dan suatu tanggal lahir dan semata-mata mengatakan, “orang itu adalah Allah”. Bagi Al-Qur’an hal itu tidaklah mungkin, tidak masuk akal, dan tidak dapat diampuni. Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an yang berisikan tentang inkarnasi dan Tritunggal. 

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan jangan kamu mengatakan: (Tuhan itu) tiga, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi  adalah kepunyaan-Nya…. Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah. Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. (Surah 4:171-172; bnd. Surah 5:77).

Dan juga:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya syurga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padalah sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. Al Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat kami itu). (Surah 5:72-75).

Jadi, bagi Al-Qur’an, Isa tidak mungkin menjadi penjelmaan Allah, akan tetapi sama seperti halnya dengan Muhammad, atau malah dengan nabi-nabi lainnya mana pun.  Sebagaimana Al-Qur’an menegasakan bahwa Isa atau juga yang dikenal dengan Al-Masih adalah seorang manusia biasa, seperti manusia yang lain, yang menjadi Rasul, seperti Rasul-Rasul sebelum beliau. Seperti Nabi Sulaiman, Nabi Musa, Nabi Ibrahim dan lain-lain, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa proses pencitaan “Isa Al-Masih sama dengan Adam: 

“sesungguhnya missal (penciptaan) Isa bagi Allah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannnya dari tanah kemudian Dia berfirman kepadanya: “jadilah” (seorang manusia), maka jadilah ia.” 

Demikianlah menurut pandangan Islam, berbagai kontradiksi yang terdapat pada agama-agama wahyu adalah unsur buatan manusia yang disisipkan ke dalam agama-agama tersebut, termasuk di dalamnya pandangan mengenai kedudukan Yesus.

Krisna dalam Agama Hindu

Sikap inklusif Hindu biasanya tidak menolak doktrin-doktrin Kristen sebagai hal yang salah atau praktik-praktik orang Kristen sebagai tidak layak. Sebaliknya, para inklusivis biasanya menilai doktrin dengan praktik Kristen sebagian benar, tercakup termasuk di dalam, dan bahkan digantikan oleh kebenaran-kebenaran hinduisme yang lebih luas dan lengkap. Oleh karena itu, keilahian Yesus Kristus tidak disangkal, melainkan dikukuhkan. Namun dinilai semata-mata sebagai salah satu dari contoh yang tidak sempurna dari sebuah fenomena yang sudah ada secara lebih lengkap dan sempurna di dalam hinduisme. Kaum neo-Hindu sering mengatakan bahwa semua agama benar, atau bahwa semua agama mempunyai tujuan yang sama, atau bahwa semua agama menggambarkan realitas tertinggi yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Rigveda sendiri sering kali dikutip untuk mendukung posisi ini: “kebenaran hanya satu, tetapi orang-orang bijak menamainya dengan nama yang berbeda-beda”.  Dalam kaitan kebenaran tersebut, ada hal yang benar-benar ditolak agama Hindu, yaitu mengenai universalitas Kristen. Hal ini ditolak karena universalitas Kristen dianggap imperialistik; penekanannya pada tindakan penyelamatan Allah yang khusus di dalam Kristus dikritik karena hal ini melahirkan gambaran tentang Allah yang sempit dan tidak tetap. Dan sebagaimana halnya dengan semua kecenderungan sebelumnya dalam pemikiran Hindu tentang kekristenan, teologi Kristen akhirnya ditempatkan sebagai varian yang tidak berarti dari Wisnuisme atau Syiwaisme atau variasi sektarian mana pun dari hinduisme. 

Lain hal seperti yang dikatakan Gandhi, Yesus Kristus adalah pemuka para satyagrahi atau bodhisattva, mereka yang dengan gigih menolak menggunakan kekuatan dan kekerasan. Karena itu, “jalan seorang satyagrahi” oleh Gandhi bisa juga disebutkan sebagai “jalan salib”. Bersama ahimsa, sikap pantang melakukan kekerasan, pemahaman tentang satyagrahi diambil dari ajaran pokok agama Hindu. Namun, Gandhi bukan hanya mencatat Yesus sebagai salah satu contoh, melainkan ia memberikan peranan istimewa kepada-Nya, di mana ia sering kali mengutip Perjanjian Baru. Memang ada juga orang-orang besar lain yang telah menjalani satyagraha. Misalnya, setelah Sang Buddha mengalami bodhi (penyadaran), ia menolak langsung melebur dalam nirwana melainkan memilih kembali kepada para sahabatnya untuk memutar “roda pelajaran”. Namun, yang menerimanya terutama adalah para rahib. Sebaliknya, Yesus dibunuh demi kebenaran di hadapan umum sehingga Dia menjadi contoh bagi umat dan kehidupan. Dengan demikian, Gandhi melihat juga suatu makna universal dan normatif dalam cara hidup dan mati Yesus. 

Yesus dalam Agama Buddha

 Aliran Buddhadasa dari Muangthai menekankan bahwa pusat ajaran Buddhisme adalah panggilan untuk meniadakan diri (an-atta). Dengan demikian, ia hampir dapat melihat ajaran Yesus setara dengan ajaran Sang Buddha. Khotbah di bukit juga baginya sudah mengundang cukup banyak ajaran yang dapat mengarahkan seorang untuk menuju jalan keselamatan. “Keselamatan” di sini berarti vimutti, yakni pembebasan dari gerak pikiran dan maksud yang bertujuan mengikat manusia pada hal-hal yang sifatnya fana dan menahan kesadarannya dalam keterkurungan hawa nafsu. Gagasan untuk meningkatkan ajaran Kristen dan hampir menyetarakan Kristus dengan Buddha telah mengundang banyak kritik dari Muangthai. Di sisi lain, masalah kesediaan untuk melepaskan diri sebagaimana dilakukan Yesus di kayu salib tetap merupakan pokok ajaran dan kepercayaan orang Buddhis, meskipun ada lebih banyak penganut paham Mahayana daripada ajaran Theravada seperti di Muangthai – di mana Budhadasa termasuk di dalamnya. Namun, untuk menghayati keyakinannya, ajaran ini meyakini bukan ketaatan pada karma yang diperlukan melainkan kebijaksanaan untuk menghayatinya secara sukarela tanpa penyesalan.  Dalam hal dan sikap inilah Yesus mirip dengan Buddha. Namun, sebagaimana tidak satu Buddha saja yang dikenal, demikian juga tidak ada satu “anak Allah” saja – sebagaimana ditegaskan Buddhadasa – yang mengambil gelar Yesus itu. Ia juga dapat memahami Yesus selaku penebus: karena menurut ajaran Buddha, setiap manusia harus hidup dalam damai, dengan sendirinya Yesus pun, seperti Buddha dapat dipahami sebagai penebus yang menunjukkan jalan menuju kebenaran melalui contoh pribadi-Nya sendiri (“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tiada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalu Aku”, Yoh. 14:6). 

Menurut golongan Theravada yang mempertahankan kemurnian ajaran Buddha, apa yang disebut Tuhan tidak seharusnya dilihat sebagai adanya pribadi di mana umat Buddha seharusnya melakukan pemujaan kepadanya, atau menggantungkan diri kepadanya. Oleh karena adanya pribadi itu terbatas dan akan selalu menjelma (dumadi). Jadi tidak mungkin ada sifat pribadi yang kekal. Sebaliknya Tuhan tidak juga dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada (bukan pribadi) oleh karena Tuhan mengatasi hubungan yang nisbi antara ada dan tiada, antara pribadi dan bukan pribadi. Begitu pula janganlah Tuhan digambarkan menurut ukuran dan perasaan manusia, karena hal itu berarti menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan.

Jadi Tuhan itu adanya tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta. Ia hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tidak awal tidak ada akhir, tidak dapat diapa-apakan, tidak kenal masa dan perhentian, tidak berarah dan tidak bertempat, jauh tidak terbatas dekat tak tersentuh, tidak ada di luar dan di dalam, halus tak terpungut besar tidak terhingga. Jadi menurut Theravada bahwa Tuhan juga tidak mempunyai sebab dan akibat dengan alam semesta, karena hubungan yang demikian akan menjadikannya nisbi (relative). Jadi tidak ada hubungan dengan bentuk apapun, baik dengan cara sekarang maupun yang akan datang. Namun  dalam kaitannya dengan keagamaan Tuhan adalah itu adalah “nibbhana”. Karena tujuan tercapai  jika “lobdha” (nafsu) “dosa” (kebencian), “moha” (kegelapan batin) menjadi lenyap. 


TINJAUAN TERHADAP UNIVERSALITAS YESUS

Perdebatan Mengenai Universalitas Yesus

Teologi Yang Menentang

Kisah Para Rasul 4:12 berbunyi “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”. Ini adalah salah satu nats yang menyatakan bahwa tidak ada nama lain yang olehnya manusia dapat diselamatkan.

Dalam teks ini, Paul F. Knitter menghayati dan memahami makna dan kuasa yang ada di dalam pribadi dan karya Yesus Kristus merupakan tugas Kristologi yang tidak pernah selesai. Tugas yang penuh dinamisme dan kepelbagaian ini diteruskan hingga kini, dan itu berarti bahwa masalah keunikan Yesus tetap terbuka terhadap berbagai pemahaman baru. Knitter mengusulkan interpretasi baru yang disebut Kristologi Pluralistik. Kristologi ini merupakan inti ajaran dari kesaksian dan pemberitaan mula-mula tentang Yesus tetap ada: bahwa Dia itu Tuhan, bahwa Dia bangkit dan menyertai manusia, bahwa Dia Juruselamat bagi semua. Dalam hal ini, Knitter mengklaim bahwa inti ajaran tentang Yesus ini tidak ada yang disangkal oleh umat Kristen yang sedang mencari cara-cara yang lebih korelasional dalam hubungan dengan agama-agama lain. Pandangan ini dimaksudkan sebagai suatu cara untuk melakukan reinterpretasi tentang apa artinya menyebut Yesus sebagai Tuhan sedemikian rupa sehingga umat Kristen dapat memahami peranan Yesus yang lebih jelas dan mengakui Dia dengan lebih mantap. 

Kristologi pluralis juga tidak berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dan vital antara Yesus dan tokoh-tokoh agama lainnya dalam sejarah. Yesus bukan sekedar “salah seorang”. Yesus “memang beda”. Umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberitakan kepada dunia tentang Yesus sebagai benar-benar (truly) Tuhan dan Juruselamat. “Benar-benar, namun bukan satu-satunya” – Knitter mengira ini merupakan upaya baru untuk menegaskan pentingnya Yesus dalam dunia kepelbagaian agama. Secara teologis, ini berarti bahwa walaupun umat Kristen dapat dan harus terus memberitakan Yesus dari Nazareth sebagai pribadi yang melalui-Nya realitas dan kuasa penyelamatan Allah menjelma dan tersedia, mereka juga bisa terbuka terhadap kemungkinan bahwa ada juga pribadi lain yang bisa diakui umat Kristen sebagai anak Allah. Secara pribadi, Kristologi pluralistik semacam ini mengijinkan dan mensyaratkan umat Kristen untuk sepenuhnya percaya kepada Kristus, namun sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya. 

Bagi Knitter dalam No Other Name? menyarankan sebuah Kristologi yang baru bagi model Teosentrisme. Dia mengatakan bahwa Yesus bersifat Teosentris karena pesan utama dari Yesus adalah “Kerajaan Allah” yakni, “datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu” adalah isi doa dan pekerjaan-Nya. Bahkan dalam tiga teks yang di dalamnya Yesus diproklamasikan sebagai Allah (Yoh. 1:1, 20:28, Ibr. 1:8-9), sebuah bukti subordinasi.  Knitter menambahkan, PB juga mengatakan Yesus eksklusif atau paling sedikit normatif. Yesus adalah “satu-satunya mediator” antara Allah dan manusia (1 Tim. 2:5). Tidak ada “nama lain” yang oleh-Nya orang dapat diselamatkan (Kis. 4:12). Yesus adalah “Anak Allah yang tunggal” (Yoh. 1:14). Tidak seorang pun datang kepada Bapa kalau tidak melalui Dia (Yoh. 14:6). Sama seperti semua mati dalam satu orang, Adam, jadi semua akan di bawa ke kehidupan dalam satu orang, Kristus (1 Kor. 15:21-22). Apa yang terjadi pada-Nya adalah “satu kali dan untuk semuanya” (Ibr. 9:12). Dia adalah nabi yang final, menyediakan firman normatif dan final bagi semua yang mengikuti-Nya. Adalah naif dan tidak jujur jika berpendapat bahwa orang Kristen mula-mula benar-benar tidak bermaksud atau percaya apa yang mereka sedang katakan, sebagaimana jika mereka sadar tentang “relativitas sejarah” atau “kondisi mistis” dari bahasa-bahasa itu. Ketika para pengikut Yesus menyatakan bahwa Yesus adalah “satu-satunya dan hanya Dia”, mereka bermaksud demikian.  Menurutnya, bahasa “satu-satunya dan hanya” ini bukanlah bahasa filosofi, sains atau dogmatika, tetapi bahasa pengakuan atau kesaksian dari para pecinta anstusias. Sehingga hal ini tidak berarti orang Kristen mencoba menguraikan sebuah prinsip metafisik tetapi sebuah hubungan pribadi dan sebuah komitmen yang menentukan apa artinya bagi komunitas ini. “Satu-satunya dan hanya” berarti “aku benar-benar berkomitmen pada-Mu”.  

Yesus memang dipandang sungguh-sungguh penyelamat, tapi bukan satu-satunya. Dengan artian bahwa Yesus adalah totus Dei (seutuhnya Ilahi) tetapi bukan totum Dei (keseluruhan Ilahi). Kepenuhan Allah tidak dibatasi oleh Yesus yang terbatas. Mengganti Yang Tidak Terbatas dengan Yang Terbatas berarti penyembahan berhala/ idolatri.  Dalam hal ini, Knitter beranggapan bahwa adalah terlalu sempit menganggap agama Kristen satu-satunya agama yang benar, karena dengan demikian mereka mengabaikan universalitas kasih Allah, kemajemukan agama dan hak asasi manusia, mereka menyatakan sebagaimana halnya keselamatan ada di dalam agama Kristen, maka begitu juga dengan agama lain, bahwa tiap-tiap agama ada keselamatan di dalamnya. Di sisi lain, Injil harus ditafsir ulang karena pengajaran tentang Yesus di dalamnya adalah keliru dan Yesus di dalam Alkitab adalah rekaan dari para penulis Injil dan hasil pemikiran penulis. Dengan kata lain keAllahan Yesus yang diyakini dan diklaim orang Kristen saat ini bukanlah Yesus yang sebenarnya, bukanlah Yesus historis melainkan Yesus yang hanya ada di dalam angan-angan atau mitos para penulis Injil. Hal ini menurut penulis adalah pemahaman yang keliru, sebab hanya Kristuslah pusat dari keselamatan, soteriologi adalah pusat dari semua doktrin, Alkitab adalah dasar dari semua doktrin dan gereja adalah pintu semua doktrin. Kebenaran ini adalah kebenaran yang final yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga. 

Dalam hal keunikan Yesus sebagai “sebuah keunikan rasional”. Knitter mengakui kebenaran yang diyakini orang Kristen bersifat relatif di tengah arena agama-agama lain, yang menuntut mereka tidak serta merta berarti mengabaikan keunikan kebenaran tersebut, namun sebaliknya mengakui keunikan tersebut dalam relasi dengan orang lain. Akan tetapi kaum Inklusivisme menolak hal tersebut yang mengatakan bahwa semua agama relatif walaupun terdapat keunikan. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa kaum Inklusivisme menawarkan konsep universalitas kasih Allah bagi agama-agama lain. Dengan kata lain, bahwa keselamatan juga hadir dalam agama-agama lain. Hal ini dimunculkan oleh para kaum inklusivis karena menurut mereka sikap eksklusivis merupakan hal yang negatif bagi agama lain, karena sikap ini kurang memberi tempat pemahaman aktual agama-agama lain. Namun kehadiran inklusif ini dianggap tidak memadai oleh kaum Pluralis. Mereka mengatakan bahwa paradigma ini dapat terjebak dalam suatu imperialisme teologis dan menyimpan suatu sikap tidak jujur dan tidak menghargai entitas agama lain, sebagaimana mereka alami dan hayati.

Song di dalam konsep Kristologinya menekankan kemanusiaan Yesus. Ia melihat Yesus hanya seorang manusia biasa yang didiami Allah. Hal ini kelihatan dari konsep inkarnasinya bahwa inkarnasi Yesus adalah Allah yang mendiami seorang manusia yaitu Yesus Kristus. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa Yesus Kristus dapat berinkarnasi lebih dari satu kali melalui manusia atau tokoh golongan agama dan budaya. Bahkan diapun berpendapat bahwa Yesus adalah tokoh agama besar yang sejajar dengan tokoh agama lain.  Dengan kata lain, bahwa Yesus bukan sekadar “salah seorang” – yang berada dalam barisan tokoh-tokoh arkitipal (archetypal figures) yang telah menggerakkan dan mengarahkan kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan Yesus memang berbeda, perbedaan yang luar biasa mencolok dari Buddha, Muhammad dan Krishna. Dengan kata lain, posisi Yesus tidak sama dengan tokoh-tokoh agama lainnya.

Hal ini senada dengan yang disebutkan oleh M.M. Thomas dengan mengutip P.D. Devananda bahwa Kristus yang bangkit seharusnya menciptakan koinonia yang baru dalam Kristus yang mentransendensikan semua perpecahan antara orang Kristen dan penganut agama lain, bahkan juga mereka yang tidak beragama. Penekanannya di sini adalah pada umat manusia baru yang diciptakan oleh salib sebagai sumber universalitas solidaritas manusia.  Dengan kata lain bahwa keterpusatan pada Kristus bukan berarti pemutlakan doktrin Kristologis manapun. Dogma atau kredo tidak dapat mewakili Kristus, karena Kristus jauh lebih besar dan lebih luas dari rumusan Kristologis manapun. Sehingga jelas bahwa keselamatan hanya di dalam Kristus (Yoh. 14:6, Kis. 4:12). Kristuslah pusat keselamatan dan pengorbanan Kristus untuk menanggung dosa manusia merupakan inti Injil.

Sementara itu, Panikkar dalam konsep “The Unknown Christ of Hinduism” menyebutkan bahwa Yesus adalah Kristus tetapi Kristus bukanlah Yesus karena di dalam agama Hindu pun sesungguhnya mengakui Kristus yang tidak dikenal atau terselubung. Jadi, agama Hindu pun mengakui Kristus hanya tidak dikenal. Kristus ini merupakan misteri Ilahi yang berinkarnasi dalam sejarah dan budaya manusia.  Dengan kata lain bahwa Allah tidak hanya berinkarnasi melalui dan di dalam Yesus, melainkan juga dalam agama lain.  Jadi Allah menjadi manusia tidak selalu bernama Kristus, melainkan juga terdapat di dalam Hindu yang dikenal sebagai Isharam, dalam kekristenan dikenal sebagai Yesus dari Nazaret. Panikkar membedakan antara Yesus dan Kristus. Yesus baginya adalah bagian dari Kristus dan Kristus tentu lebih dari Yesus Kristus sebagai misteri Ilahi bukan suatu realita yang mempunyai banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan.

Menurut Panikkar ada dua nats yang sangat mempengaruhinya sehingga Ia menyimpulkan bahwa Kristus juga hadir dalam agama Hindu, yakni: “Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya… (Kis. 14:16, 17) dan “apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis. 17:23b). Dari kedua nats ini Panikkar menarik kesimpulan bahwa Kristus hadir dalam agama Hindu dan dengan demikian agama Hindu adalah cara yang efektif bagi jutaan orang untuk memperoleh keselamatan dan untuk dipersatukan dengan Allah, justru karena kehadiran Kristus yang terselubung di dalamnya. Di dalam agama Kristen Kristus dinyatakan secara sempurna. Oleh karena itu tugas kaum Kristen adalah membuka selubung Kristus dalam agama Hindu. Ia mengetengahkan gagasan bahwa agama Kristen adalah agama Hindu yang telah mati dan bangkit kembali, tetapi dengan wujud yang telah “diubah”. Dalilnya ialah bahwa apabila orang Hindu mengingat Ishvara yaitu tokoh sejati yang mewahyukan Brahman, perantara dari segala yang diciptakan, sumber anugerah, maka pada dasarnya tanpa disadari mereka telah mengakui Kristus yang terselubung itu (Tritunggal yang tidak dikenal dari agama-agama besar). 

Dengan memandang Kristus sebagai simbol dari misteri, Panikkar berusaha membuat sebuah Kristologi universal yang menghadirkan Kristus sebagai prinsip kosmotheandrik.  Di sini Panikkar tidak hanya membedakan antara Yesus dan Kristus, tetapi juga memisahkan secara aktual Kristus dari Yesus dengan menegaskan bahwa Kristus yang universal terwujud dalam agama-agama yang berbeda di bawah nama-nama yang berbeda. Sebab menurut Panikkar, Kristus nyata atau tersembunyi merupakan suatu jalan atau cara menuju Allah, dan Kristus adalah meditor.  Sebagai mediator, Kristus menunjukkan hubungan yang unik antara yang tercipta, dan yang tidak tercipta, relatif dan yang absolut, yang temporal dan yang kekal, surga dan dunia.  Dengan demikian, Kristus menyandang fungsi sebagai mediator, penghubung dan pengantara.

Oleh sebab itu kelompok pluralis menawarkan sesuatu yang baru. Mereka menawarkan konsep relativitas, yang menekankan pada universalitas kasih Allah dalam diri Yesus Kristus yang lebih luas bagi dunia. Pluralistis menekankan Teosentrisme, yaitu menekankan bahwa semua agama-agama memusatkan diri kepada Allah dan Kristus bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Di dalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen, Knitter mengemukakan di dalam prakatanya: 

“Pemahaman-pemahaman baru digambarkan sebagai setiap upaya untuk melangkah lebih jauh dari dua model umum yang telah mendominasi sikap-sikap Kristen terhadap agama-agama lain sampai kini: pendekatan eksklusivis “konservatif”, yang menemukan keselamatan hanya di dalam Kristus dan hanya melihat sedikit, kalaupun ada nilainya di tempat lainnya, dan sikap inklusif “liberal” yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman lain tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah dipenuhi di dalam Kristus. Kami ingin mengumpulkan para teolog yang menjelajah berbagai kemungkinan akan posisi pluralis-suatu upaya melangkah meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri jalan-jalan lain.

Lebih lanjut ia menambahkan:

“Para teolog dalam bagian kedua mengajukan usul mereka bagi teologi pluralis tentang agama-agama, yang didorong oleh pengakuan bahwa bukan saja cara persepsi keagamaan yang secara historis relatif, melainkan juga bahwa objek atau isi pengalaman keagamaan yang otentik itu tidak terbatas-Misteri yang melampaui segala bentuk, melampaui kemampuan untuk menggapainya. Misteri Allah yang tidak terbatas dan tidak tergambarkan itu menuntut pluralisme keagamaan dan melarang agama mana pun untuk memiliki firman “satu-satunya” atau firman “terakhir”.

Di bagian lain dalam bukunya No Other Name? Knitter memperhadapkan pembacanya pada kenyataan bahwa sebenarnya manusia tidak saja menghadapi satu agama tetapi banyak (many) agama di dunia, dengan jawaban-jawabannya yang bersifat ultimate terhadap berbagai pertanyaan tentang kehidupan. Kenyataan ini menyakitkan sebab kesadaran akan kemajemukan itu bakal menimbulkan berbagai pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Sebagai contoh yang mempertanyakan, “Mengapa begitu banyak agama yang saling berbeda? Apakah agama-agama semuanya benar, atau semuanya palsu? Apakah agama-agama yang banyak sesungguhnya hanya satu? Dan lain sebagainya.  Dalam hal ini, Knitter mengusulkan Kristologi Teosentris  untuk menjawab permasalahan tersebut. Ia percaya bahwa model Teosentris mengarahkan perhatiannya langsung pada kekurangan-kekurangan dan juga mempertahankan nilai-nilai dari model pilihannya dan berisi harapan terbesar bagi dialog antar agama di masa depan dan bagi evolusi yang terus dilanjutkan atas makna Yesus Kristus bagi dunia ini. Pemahaman semacam ini memandang Yesus bukan sebagai tokoh yang eksklusif atau bahkan yang normatif. Melainkan Teosentris, sebagai pengejahwantahan (sakramen akte suci, inkarnasi) dari penyataan dan keselamatan Ilahi yang relevan untuk umum.  Dengan kata lain, Yesus harus dilihat sebagai seorang manusia dengan luar biasa sadar terhadap kehadiran Allah, tetapi bukan sebagai Allah yang menjadi manusia, dan Yesus bukan mempunyai hubungan yang unik terhadap Allah. Dan Kristologi sebagaimana yang dipahami adalah produk dari iman kepada Yesus dari pada kesetiaan pengikut terhadap ajaran Yesus yang aktual.  Sehingga, Yesus dikenal sebagai Ilahi bukan karena Allah secara harfiah turun dari sorga dan secara harfiah pula menghamili ibu Yesus, tetapi karena Yesus memang dipenuhi Roh yang diberikan kepada semua orang dan memberi respon total terhadap Roh itu. 

Dalam hal Teosentris, Knitter mengikuti contoh jalan Yesus dari Nazaret, sebab Yesus dan intinya tentang kerajaan sorga sendiri bersifat Teosentris. Kristosentrisme sendiri dari Perjanjian Baru tidak melepaskan Teosentrisme yang dipegang Yesus. Yesus tidak pernah mengambil tempat Allah. Perjanjian Baru mempertahankan keseimbangan yang halus, kadangkala sulit antara Kristosentrisme dan Teosentrisme. Kesadaran Yesus yang mendalam, maka Kristologi ini membuat kesadaran kristiani pada Kristosentrisme yang rabun, tidak bisa melihat jauh pada Yesus lagi, pada suatu reduksianisme yang menyerap Allah ke dalam Yesus. Kristosentrisme tanpa Teosentrisme mudah menjadi suatu penyembahan berhala yang melanggar dan merusak bukan saja pernyataan kristiani melainkan juga pernyataan yang ditentukan pada kepercayaan-kepercayaan lain.  

Dalam Kristologi Teosentris Knitter, penulis melihat bahwa Knitter mengadopsi konstruksi kaum liberal mengenai evaluasi Kristologi yang menyatakan bahwa Kristus sendiri tidak berpikir mengenai diri-Nya sebagai Allah, melainkan sebagai hasil perkembangan berpikir pada murid, hal ini senada dengan apa yang dikatakan Hick “produk dari iman kepada Yesus”.  Jadi semua teks Alkitab yang menegaskan Yesus sebagai Allah dianggap sebagai buah pikiran dari murid-murid. Bahkan dalam konsep soteriologi yang dianutnya adalah konsep yang universal liberal. Artinya mereka berpendapat bahwa setiap orang sesungguhnya akan diselamatkan. Sebab kasih Allah yang besar tidak akan menempatkan manusia ke dalam neraka. Karena itu, menurut Hick bahwa untuk menanyakan masalah keselamatan saja bagi orang yang bukan Kristen adalah hal yang tidak patut, apalagi membangun doktrin yang mengklaim keselamatan hanya untuk orang tertentu, hanya untuk umat pilihan, merupakan ancaman bagi kesatuan dan keutuhan komunitas manusia. Karena universalisme yang mengerti penderitaan semua umat seluruh dunia, dan hanya universalisme yang mencegah orang Kristen menjadi berkuasa atas orang-orang berbeda iman. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk menggerogoti Alkitab dan membuang finalitas Yesus Kristus.  Dalam hal ini, penulis melihat bahwa kaum pluralis tidak dapat memahami konsep soteriologi yang sesungguhnya. Salah satu dasar yang menjadi sandungan bagi mereka adalah doktrin yang salah dalam menafsirkan karya penebusan Yesus Kristus. Konsep penebusan yang dilakukan oleh Kristus Yesus merupakan karya penebusan universal yang partikular. Artinya bahwa penebusan Yesus adalah universal sama seperti dosa yang juga bersifat universal. Dengan kata lain, kematian Kristus adalah untuk menggantikan posisi semua manusia yang berdosa termasuk dosa agama Hindu, Buddha, Islam dan semua manusia. Akan tetapi dalam pengaplikasiannya perlu adanya pengakuan yang partikular dari semua manusia sehubungan dengan tanggung jawab manusia. Dan dalam sisi tanggung jawab manusia dituntut untuk mengambil bagian dalamnya yaitu percaya dan bertobat (Rm. 10:9-10).

Teologi Yang Mendukung

Dalam hal finalitas Yesus, Rahner mengakui Allah secara bebas menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Dan keselamatan terjadi bukan karena manusia yang merespons, namun karena Allah dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan. Seperti yang tertulis dalam 1 Timotius 2:3-4, ”itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruslamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” Bagi Rahner agama-agama lain bisa menjadi sebuah agama yang sah, dalam arti  dapat dianggap memiliki makna positif sebagai alat menerima keselamatan dari Allah. Baginya, ketiga Injil diberitakan dan diterima oleh manusia, maka pada saat itu manusia yang mendengar tidak berada dalam keadaan sebagai seorang ciptaan alamiah, melainkan sudah dalam keadaan dianugerahi (graced). Manusia pada saat mendengarkan Injil sudah berada dalam orientasi pada Roh Kudus. Dengan cara ini, keselamatan pun menjadi bagian hidupnya. Dalam keadaan semacam itulah agama non-Kristen dapat dipandang sebagai sarana keselamatan. Seperti yang dikatakan Rahner “kekristenan tidak memandang umat dari agama di luar Kristen sekadar sebagai non-Kristen. Namun, sebagai seorang yang sudah dapat dan harus sudah dipandang dengan rasa hormat sebagai seorang Kristen anonim.” Menyangkut konsep Anonymous Christian ini, Rahner memakai contoh perjumpaan Paulus dengan orang-orang Atena di mana ia berbicara tentang Allah yang tak dikenal (Kis. 17:16-34). 

Dalam hal ini Rahner sejalan dengan Konsili Vatikan II yang mengatakan bahwa keselamatan bukan bagi orang Kristen saja, melainkan juga bagi semua orang yang berkehendak baik, yang di dalam hatinya kasih karunia bekerja melalui cara yang tak kelihatan. Mereka pun dapat memperoleh keselamatan yang kekal. Di samping itu, konsili juga mengatakan bahwa barang siapa mengetahui bahwa Gereja Katolik dinyatakan perlu oleh Allah melalui Yesus Kristus, tetapi menolak menjadi anggotanya atau menolak untuk tetap di dalamnya, maka mereka tak dapat diselamatkan. Oleh karena demikian, Rahner memberikan penjelasan yang menarik perhatian banyak orang tentang kedua pernyataan itu. Ia mengatakan bahwa Allah menghendaki keselamatan bagi semua orang dan percaya kepada Kristus perlu untuk keselamatan. Rahmat Allah bekerja dalam diri setiap orang.  Dengan kata lain, Tuhan memang menghendaki supaya setiap orang diselamatkan. Dari kata kasih, Tuhan mau menyatakan diri-Nya kepada semua orang sebagai bentuk komunikasi. Tuhan membuat diri-Nya hadir dan memampukan setiap orang mengalami realitas dari kehadiran Tuhan.  Oleh karena itu, rahmat Allah tidak terikat bekerja melalui agama Kristen saja. Akan tetapi, kasih karunia Allah di dalam Kristus Yesus dapat menjangkau manusia melalui agama bukan Kristen, bahkan dalam diri seorang ateis pun rahmat Allah itu bekerja, yang memberi kemungkinan kepadanya untuk bertindak sesuai dengan hati nuraninya sehingga ia menikmati keselamatan. Orang bukan Kristen telah mengalami kasih karunia Kristus tanpa mereka menyadarinya yang memberi mereka kemungkinan untuk memperoleh keselamatan. 

Menanggapi hal ini, Newbigin menyatakan bahwa memang benar Allah berada di luar pemahaman pikiran manusia. Tetapi ini tidak berarti bahwa seseorang bebas membuat gambaran sendiri tentang Allah. Namun tidak dapat disangkal bahwa Allah dapat saja bertindak agar diri-Nya dikenal. Kilauan maupun kedalaman misteri Ilahi disajikan kepada manusia dalam inkarnasi, yakni semua fakta tentang Kristus Yesus.  Setuju dengan Hendrik Kraemer , penulis melihat apa yang absolut bukanlah kekristenan, tetapi penyataan Allah dalam Yesus Kristus yang tidak tergeserkan, pasti dan dipercayai.  Yesus Kristus melalui firman adalah satu-satunya jalan keselamatan yang dapat diperantai, sebab hanya itulah satu-satunya jalan keselamatan yang dapat dipahami secara layak. Di luar Yesus Kristus, seseorang tidak mampu memahami bagaimana keselamatan bekerja. Oleh karena itu, Barth merasa tidak penting menerimanya secara psikologis kognitif. Pertama-tama hal ini berarti bahwa hanya di dalam Yesus seseorang menyadari bahwa ia diselamatkan hanya oleh iman. Tanpa Kristus, manusia tidak dapat secara penuh memahami keberdosaannya. Demikian juga keseriusan kekudusan dan murka Allah tidak dapat dipahaminya dengan baik. Kenyataan bahwa penebusan adalah kombinasi dari kasih dan keadilan Allah, dalam arti kasih diungkapkan melalui pemuasan keadilan dan murka Allah, “berlawanan dengan semua kenyataan yang terjadi”, “tidak kedengaran”, “tidak terlihat”, “tidak mungkin”, suatu “keajaiban murni”. Oleh sebab itu, ditegaskan bahwa satu-satunya kekuasaan yang secara prinsipil dan tanpa syarat mengecualikan upaya-upaya penebusan diri adalah amanat mengenai kepengentaraan Yesus Kristus.

Oleh sebab itu, tentu saja pusat adalah Yesus Kristus itu sendiri. Yesus adalah Kristus justru karena Ia tidak memperlihatkan pemutusan hubungan-Nya dengan Allah dan di dalam kekhususannya itu tidak ada klaim bagi diri-Nya sendiri. Yang khusus di dalam Dia adalah bahwa Dia menyalibkan yang khusus di dalam diri-Nya demi yang universal. Dengan kata lain hanya Yesus Kristuslah realisasi sejati dari simbol anugerah yang konkret. Yesus Kristus berada di atas semua penyataan-penyataan lainnya. Sehingga hanya dalam Yesuslah agama-agama lain dapat mengetahui keselamatan dan karena itu menerima keselamatan sejati, yaitu suatu keselamatan yang dapat mempertahankan dirinya terhadap cobaan-cobaan yang secara terus-menerus dilancarkan oleh berbagai kecenderungan pemberhalaan. 

Yesus Kristus adalah kepenuhan wahyu Allah. Dalam diri Kristus, penyataan diri Allah kepada manusia menjadi konkret, final dan definitif. Barth menganalogikan Kristus bagai matahari yang menerpa bumi, satu bagian terkena (agama Kristen) dan bagian yang lain ada dalam bayang-bayang (agama-agama lain). Barth menegaskan pandangannya dengan mengadakan penilaian teologis atas umat manusia sebagai subjek semua agama. “Bagi manusialah, baik dia mengetahui atau tidak, Yesus Kristus lahir, wafat dan bangkit kembali. Bagi manusialah, baik dia mendengar atau tidak, Firman Allah diperuntukkan. Dan manusialah, baik dia menyadari atau tidak yang menemukan Allahnya dalam Kristus.” Dalam hal ini, yang hendak ditegaskan oleh Barth ialah bahwa rahmat itu hanya dalam kaitannya dengan Yesus Kristus. Rahmat bagi manusia mengalir dari Salib Kristus. Karena rahmat yang dianugerahkan kepada manusia tidak terlepas dari Kristus. Rahmat menurut Barth di sini berbeda dengan apa yang dimaksudkan paham rasionalisme Hegel dan Kant sebagai suatu kesalehan fanatik atau seperti paham relativisme sebagai gerakan kesadaran manusiawi menuju kesempurnaan.  Sehingga Barth yakin hanya dalam Yesus Kristus manusia mengalami rahmat yang mendamaikan manusia dengan Allah.

Penyataan Universalitas Yesus

Teologi Trinitarian

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, tidak ada ditemukan ajaran mengenai Allah Tritunggal. Akan tetapi akar-akar ajaran Trinitas dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Khususnya dalam Perjanjian Baru terdapat benih ataupun akar suatu konsep tentang Allah yang dapat dikembangkan dan dijelaskan menurut garis-garis doctrinal yang kemudian disebut “ajaran Trinitas”. Adapun konsep tentang Allah itu sebagai berikut:

Allah Perjanjian Baru adalah Allah Yang Esa. Lingkungan agama kristiani yang asali, amat ketat monoteismenya. Berlawanan dengan politeisme yang dianut oleh bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal YHWH. Monoteisme dipeluk bersama-sama oleh orang Kristen dan orang Yahudi meskipun pemahamannya oleh masing-masing berbeda. Selain percaya akan Allah dalam arti YHWH, Allah Abraham, Isak, dan Yakub, orang Kristen juga percaya akan Yesus Kristus. Dengan tepat ditekankan oleh F. Courth bahwa justru perkembangan iman akan Yesus Sang Kristuslah yang diandaikan oleh iman akan Allah Tritunggal. Berkat terjadinya peristiwa – Yesus dalam sejarah umat manusia, orang Kristen diperkenalkan dengan misteri Trinitas. Dan, pendorong utama bagi iman pasca-paskah akan Yesus Kristus ialah kepercayaan akan kebangkitan-Nya. Kepercayaan yang berakar dalam pewartaan Yesus yang pra-paskah itu dimulai dengan penampakan-penampakan. Hanya dalam rangka kepercayaan akan Allah, Sang Bapa, maka pengakuan iman akan Yesus itu memperoleh bobotnya: Yesus yang telah bangkit itu dikenal sebagai Anak Allah (Rm. 1:4). Siapa dan apa Yesus sebenarnya itu hanya dapat diakui, baik sebelum maupun sesudah paskah, dengan bertolak pada Bapa saja. Sebaliknya juga berlaku: YHWH, Allah para leluhur, sejak sekarang ditentukan oleh sebutan “Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (bnd. Rm. 15:6; 2 Kor. 11:31; Ef. 1:3; Kol. 1:3; 1 Ptr. 1:3). 

Tiga pribadi sebagai perichoresis  Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ketiganya bukan berdiri secara independen. Ketiganya saling mempengaruhi, ketiganya saling memberi diri kepada yang lain. Melepaskan satu pribadi dari keterhubungan ini akan menghilangkan perichoresis tersebut. John D. Zizioulas, seorang teolog Ortodoks Timur menegaskan bahwa keterhubungan inilah yang memberi makna kepada “pribadi”. Bapa, Putra dan Roh Kudus sama sekali berbeda satu dengan yang lain, dan tidak satu pun keberadaan mereka yang tercampur aduk dengan yang lain. Namun, ketiganya mencerminkan suatu koinonia yang tak terpisahkan. Masing-masing disebut “pribadi” oleh sebab ketiganya saling berelasi. Dengan demikian Allah tidak tinggal dalam kesendirian, tetap dalam persekutuan. Hanya saja persekutuan ini tidak menghendaki keseragaman, persekutuan ini mengizinkan yang lain untuk sungguh-sungguh menjadi menjadi yang lain, dan mengundang masuk yang lain di dalam persekutuan. Inilah kehidupan Allah di dalam diri-Nya sendiri, yang dalam bahasa teologis disebut sebagai “Trinitas yang imanen” (the immanent Trinity). 

Kristus yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa itu diyakini sebagai Juruslamat yang bersatu dengan Bapa secara tak terpisahkan dan tak terbandingkan, dan dengan cara itu juga menjadi gambar Allah (2 Kor. 4:4; Kol. 1; 15). Dalam diri Yesuslah, logos Ilahi yang pada awal mula bersama-sama dengan Allah yang telah menjelma menjadi manusia. Dengan demikian, ditegaskan di sini bahwa Yesus Sang Kristus itu pra-ada: Ia sudah ada sebelum Ia di bumi ini (Yoh. 1:1-18). Juga beberapa teks lain menyebutkan atau mengandaikan pra-eksistensi Kristus itu (mis. Flp. 2:5-11; Rm. 8:32; 2 Kor 8:9). Pelbagai pengarang PB berpikir tentang Yesus sebagai Allah, tanpa melepaskan keyakinan bahwa Yesus pun seorang manusia sejati. Melalui rumus-rumus paradoksal seperti kedua sabda Yesus dalam Yohanes 10:30 dan 14:28, mereka mengungkapkan imannya bahwa dalam Yesus manusia bertemu dengan Allah sendiri. Lagi pula bahwa justru karena itulah kedatangan dan terutama salib dan kebangkitan Yesus mempunyai arti bagi seluruh dunia.

Pemahaman akan Yesus Kristus yang sedang berkembang dalam umat purba itu ditentukan juga oleh Roh Kudus sebagai nilai pengalaman yang lain di samping Bapa. Roh hanya dapat didekati melalui Yesus Kristus, dan Yesus Kristus hanya dapat didekati melalui Roh. Sehingga, Roh Kudus tidak dapat disamakan baik dengan Bapa maupun dengan Putra. Dialah kehadiran Allah di dalam manusia dan di dalam gereja dan dengan cara demikian Ia meneruskan karya penebusan Yesus. Orang yang dalam kuasa dosa dan maut dimerdekakan oleh Roh yang memberi hidup (Rm. 8:1-2); dan umat manusia yang beraneka ragam itu dipersatukan-Nya dalam pengakuan akan Ketuhanan Yesus (1 Kor. 12:3) dan dalam doa (Gal. 4:6).  Yesus Kristus Sang Juruslamat ialah sekaligus manusia sepenuhnya dan Allah sepenuhnya. Dengan kata lain tidak seorang pun yang kurang dari Allah yang dapat menyelamatkan. 

Pengakuan akan Kristus yang sedang berkembang dalam gereja perdana itu diendapkan dalam pemahaman akan penebusan dan pembaptian yang semakin berkembang pula. Dalam eksistensinya yang baru, orang yang telah dibaptis itu ditentukan baik dari pihak Yesus maupun dari pihak Roh Kudus; tetapi Bapa pun terlibat dalam proses pemulihan itu: Dialah Sang “Inisiator” karya keselamatan: “Kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor. 6:11). Menyadari bahwa dalam ketiga nama Ilahi termaktublah seluruh tindakan penyelamatan, Paulus merumuskan ucapan berkat: “Kasih Karunia Tuhan Yesus Kristus, dan Kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor. 13:13).  

Sudah barang tentu sejak semula umat Kristen perdana mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan mengakui kehadiran Roh Allah di dalam gereja. Pengakuan ini mereka dasarkan pada tindakan Allah dalam Yesus Kristus dan pada dicurahkannya Roh Kudus. Sehingga dapat disimpulkan beberapa hal mendasar sebagai benih atau akar ajaran Trinitas dalam tiga butir. Yang pertama, Allah itu esa, sehingga umat tidak percaya akan dua atau tiga allah. Yang kedua, Allah yang esa telah mewahyukan diri dengan cara triganda sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dan yang ketiga, Sang Bapa dan Putra tidak dapat disamakan satu sama lain bagitu rupa sehingga perbedaan antara mereka hilang, seakan-akan Putra cuma sekedar suatu “topeng” yang di belakangnya Sang Bapa bersembunyi.

Sejarah Keselamatan (Heilsgeschichte)

Konsep Heilsgeschichte Cullmann  telah meminjam banyak ide dasar dari Karl Barth untuk membentuk suatu pendekatan yang baru terhadap sejarah. Selain itu, penekanannya juga berasal dari Barth yaitu bahwa perlu adanya pengertian Kristosentris mengenai Perjanjian Baru dan konsep bahwa iman mempunyai peranan yang menentukan dalam pewahyuan Ilahi. Dalam sejarah keselamatan, Cullmann mengatakan bahwa Allah bertindak dalam sejarah, merupakan penekanan yang paling cocok dengan teologi ortodoks. Bagi Cullmann, skema sejarah penyelamatan menurut Lukas, yang menempatkan Kristus sebagai pusat adalah inti teologi Perjanjian Baru.  Penekanan lain dalam ajarannya yang mirip dengan teologi Alkitab ialah penekanan yang kuat pada aspek Kristologi. Penekanan yang kuat pada keselamatan sebagai peristiwa historis (sejarah) yang berpusat pada Kristus, merupakan suatu peringatan yang berguna, khususnya terhadap ajaran kritik bentuk yang mementingkan demitologisasi. Pandangan-pandangannya terhadap hubungan antara kedatangan Kristus yang pertama dan eskatologi telah amat berguna, khususnya di dalam mengoreksi beberapa penekanan ortodoks tertentu pada waktu yang lampau. 

Sehingga dalam hal keselamatan, keselamatan Allah berlanjut dari Israel kepada gereja Kristen. Ia mengidentifikasikan apa yang disebutnya “sejarah penebusan” sebagai sebuah garis “tipis” di antara ciptaan yang lama dengan ciptaan yang baru dengan Kristus di tengah-tengahnya di bawah prinsip “kemunduran progresif dan kemajuan progresif”. Ia lebih lanjut menyebut garis tipis sejarah penebusan ini sebagai “garis Kristus” karena Kristus adalah “mediator ciptaaaní” – Kristus, Hamba Allah yang menderita sebagai Dia yang menggenapi pemilihan terhadap Israel – Kristus Tuhan, yang memerintah di masa kini – Kristus, Anak Manusia yang akan kembali sebagai Dia yang menggenapi keseluruhan  proses dan yang adalah mediator ciptaan yang baru. Dalam hal pemilihan dan perwakilan Israel dan gereja – dan dalam pandangan Cullmann, khususnya gereja – atas nama seluruh umat manusia. Kedua konsep ini merupakan dua tiang kukuh yang mendukung klaim-klaim kekristenan terhadap keunikannya di antara kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama lain. Para aktor utama dalam panggung sejarah penebusan ini adalah Israel dan gereja. Bangsa-bangsa lain dan orang-orang lain berangsur-angsur surut ke latar belakang. Mereka harus diwakili oleh Israel dan gereja karena mereka tidak terpiLih. Garis sejarah penebusan adalah sebuah garis luruh, tidak bengkok, tidak pula menyimpang dari arah yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Dalam hal ini apa yang dikatakan oleh Cullmann di atas, penulis kurang sepakat jika keselamatan itu bersifat garis lurus, memang teologi garis lurus ini mempunyai banyak keuntungan seperti yang dikatakan Choan Seng Song, akan tetapi persis seperti halnya B harus mengikuti A dalam suasana abjad, maka teologi garis luruh menangkap kegiatan penyelamatan Allah dalam suatu cara yang amat tertib. Dalam kasus Cullmann, prinsip “kemunduran progresif dan kemajuan progresif” inilah yang menentukan. Urutan-urutan keselamatan yang logis ini tidak memungkinkan selaan: mulai dari ciptaan, kejatuhan, pemilihan Israel, Yesus Kristus, hingga gereja sebagai Israel yang baru dan akhirnya penggenapan terakhir, yang satu mengikuti yang lain. Garis sejarah keselamatan tidak dapat dibelokkan atau diputuskan. Akan tetapi bila tiba pada masalah yang cukup rumit misalnya hubungan Allah dengan manusia, kita mulai bertanya-tanya apakah konsep garis lurus ini masih bisa bermanfaat. Kenyataannya, mengubah Allah menjadi garis lurus berarti mengkarikaturkan Allah.

Universalisme Keselamatan

Buah pekerjaan Tuhan Yesus Kristus ialah keselamatan segala manusia dan tidak hanya segala manusia akan tetapi juga segala malaikat. Jadi juga para malaikat yang telah jatuh, para setan bahkan segala makhluk. Sebab pekerjaan Tuhan Yesus menurut pandangan universalisme kondisional (universalisme yang bersyarat) bermanfaat bagi segala orang, akan tetapi hanya orang yang percaya yang dapat menjadi selamat. Pandangan ini, selain sesuai dengan perasaan, juga kelihatan ada perkataan-perkataan di dalam Kitab Suci yang dapat menjadi pautnya. Memang di dalam Kitab Suci ada perkataan-perkataan yang rupanya mirip dengan universalisme: umpamanya “semua orang” (1 Tim. 2:4). Sebenarnya nats-nats yang mempunyai perkataan “semua orang” dan selanjutnya, hanya dapat ditafsirkan lebih tepat jikalau dihubungkan dengan nats-nats di sekitarnya. Dan harus dibedakan maksud yang dinyatakan dan maksud yang tidak dinyatakan. Yang dinyatakan kepada manusia ialah bahwa keselamatan disediakan bagi semua orang, yang tidak dinyatakan ialah predestinasi. Maka dari itu, sepanjang Tuhan menyatakan kepada umat-Nya Kitab Suci berfirman: “Tuhan menghendaki supaya semua orang diselamatkan” dengan perintah: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19).  

Adapun yang menjadi konsekuensi dari universalisme tersebut adalah:

a. Tuhan menghendaki sesuatu akan tetapi manusia menentang kehendak ini dan kehendak ini tidak tercapai. Maka manusialah yang lebih kuat.

b. Keselamatan hanya bergantung pada manusia yang mau percaya atau tidak. Akan tetapi dari sebab tergantung pada manusia, maka ketentuan kepercayaan hilang. Lain hal jikalau manusia menyadarkan keselamatan pada Kristus. Maka keselamatan tentu dan pasti, sebab Tuhan Yesus Kristus yang menjamin.

c. Pekerjaan Tuhan Yesus Kristus adalah belum sempurna. Manusia harus bertindak sendiri melanjutkan jalan ke keselamatan.

Lebih lanjut Harold Lindsell  mengklasifikasikan ciri-ciri doktrin universalisme dalam tiga kelompok. Yang pertama, menubuatkan penebusan semua orang (Yoh. 12:32; Rm. 5:18), yang kedua bahwa Tuhan bermaksud menyelamatkan semua umat manusia (1 Tim. 2:4; 2 Ptr. 3:9) dan yang ketiga menunjukkan bahwa Tuhan telah menyediakan keselamatan untuk semua orang (Ibr. 2:9 dan 1 Yoh. 2:2).  Artinya bahwa keselamatan universal dapat dikatakan keselamatan ke seluruh dunia, atau dengan kata lain, perluasan keselamatan keluar dari batas-batas Israel. Sehingga semua manusia diselamatkan.

Keselamatan Partikular – Universal

Dasar berbagai klaim universal dapat digambarkan dalam penegasan bahwa Allah yang partikular ini yang dinyatakan dalam Yesus Kristus melalui Roh adalah dasar dari semua yang ada (group of all being), makna dan keselamatan.  Keseluruhan maksud dari yang partikular ialah agar maksud atau tindakan Yang Ilahi dapat dimengerti atau dimungkinkan. Allah yang diwahyukan dalam Yesus adalah Allah yang sebelumnya sudah ada dalam dunia sejak permulaan, yang menciptakan, menyelamatkan dan mengusahakan untuk menarik segala sesuatu kepada Allah sendiri. Kehadiran dan tujuan universal inilah tepatnya yang menjadi jelas dan operatif dalam Yesus partikular. Manifestasi diri Allah dimaksudkan untuk semua orang, tersedia bagi semua orang menjadi operatif sepanjang sejarah. Apabila sebelum mengenal Yesus orang-orang Kristen hanya dapat menduga kehadiran dan pemberian kasih Allah yang universal, sekarang mereka mengetahuinya secara pasti. Dengan demikian, kehilangan hubungan dengan aspek universalitas realitas Ilahi berarti juga kehilangan hubungan dengan unsur pokok pewartaan Yesus. Artinya bahwa dengan tidak membatasi atau meredupkan yang universal dengan terlalu menekankan yang partikular. 

Namun, sepanjang sejarahnya orang-orang Kristen (mungkin karena lingkungan dan keterbatasan historis yang dapat dimengerti) telah membatasi atau meredupkan kasih dan kehadiran Ilahi yang universal. Mereka terlalu memusatkan diri pada partikularitas Yesus atau gereja. Sehingga mereka kehilangan wawasan akan Allah universal. Konteks dunia yang saling berhubungan, tetapi terancam sekarang ini memberikan kesempatan untuk memperbaiki ketidakseimbangan tersebut. Maka, tugas model korelasional yang dipaparkan oleh Paul F. Knitter dalam bukunya menggugat arogansi kekristenan adalah mencari suatu jalan di mana partikularitas  pribadi dan karya Yesus dapat dibawa dalam suatu hubungan yang lebih berbuah dan saling mengubah dengan universalitas kasih dan pemberian rahmat Allah. Maksud model ini bukanlah untuk membongkar atau menggantikan makna unik Yesus. Model tersebut justru membantu untuk mengerti keunikan-Nya dalam suatu cara tertentu sehingga orang-orang Kristen akan terbuka pada Allah yang hadir mengatasi Yesus. Kehadiran Allah dalam dunia dan dalam agama-agama lain ini akan menjadi sesuatu yang harus diperjelas atau mungkin diperbaiki oleh orang-orang Kristen, tetapi juga akan menjadi sesuatu yang mengejutkan mereka dan mengajarkan mereka hal-hal baru yang mengagumkan. 

Senada dengan pemahaman ini, Samartha menegaskan bahwa Kristus adalah Kristus yang tak terbatas. Pengakuan akan keTuhanan Kristus yang tersalib dan bangkit atas seluruh kehidupan ini tidak mencakup eksklusivitas apa pun. Samartha malah berpendapat bahwa pengakuan itu justru merupakan deklarasi akan universalitas Kristus yang tak terbatas, tak terikat, inklusif. Penekanan universalitas penebusan Kristus berarti penekanan kasih Allah kepada semua manusia di dalam Kristus. Penekanan universalitas kasih Allah dalam Kristus ini penting dalam rangka menjelaskan bahwa Kristus melampaui semua batas-batas kebudayaan, bahkan batas-batas agama dan kepercayaan. 

Bila Kristus yang menjadi model hidup gereja merupakan Kristus tak terbatas, maka konsekuensinya fungsi gereja sebagai sakramen keselamatan harus pula menampilkan keterbukaan yang sanggup mengatasi sekat-sekat dan batas-batas apa pun, bahkan batas perbedaan iman sekali pun. Artinya bahwa pengertian sakramentalitas yang dikenakan pada gereja harus mengantar hidup gereja menjadi suatu wujud keterbukaan dan dialog dengan semua orang. Tidak ada yang terkecualian di dalam keterbukaan itu. Kerajaan Allah yang dibangun dan dihadirkannya di dunia merangkum dan membuka pintu bagi semua orang sebagai anggotanya. 

Pengalaman pribadi akan penyataan Allah terjadi di manapun dalam agama-agama. Agama-agama memperlihatkan kehidupan mereka atas karya Allah yang terus menerus, dan Allah bekerja dalam cara-cara yang berbeda dalam dunia. Jalan Kristus adalah salah satu diantaranya, tetapi jalan yang lain adalah penyataan dalam agama-agama. Teologi Kristen memandang agama-agama lain berhubungan dengan kesaksian khusus mereka atas karya Allah yang terus menerus dalam dunia dan melalui banyak dimensi penegakan hukum dan kemasyarakatan. Allah aktif melalui struktur-struktur pengalaman umum manusia dan Allah secara universal dialami dalam agama-agama sebagai tekanan yang menuntun orang-orang untuk melihat apa yang baik dan benar. Allah berada dibalik pernyataan Allah dan agama-agama dipenuhi cerita-cerita tentang orang yang dalam pencarian tentang kebenaran dan arti akan pengalaman mereka dan keberadaan segala sesuatu.  

Akhirnya dalam pemahaman kekristenan, mereka yang belum menerima Injil dengan berbagai alasan diarahkan kepada umat Allah. Terutama bangsa yang telah dianugerahi perjanjian dan janji-janji, serta merupakan asal kelahiran Kristus menurut daging (lih. Rm. 9:4-5), bangsa terpilih yang amat disayangi karena para leluhur, sebab Allah tidak menyesali karunia-karunia serta panggilan-Nya (lih. Rm. 11:28-29). Namun, rencana keselamatan juga merangkum mereka yang mengakui Sang Pencipta, di antara mereka terdapat terutama kaum muslimin, yang menyatakan bahwa “mereka berpegang pada iman Abraham, dan bersama kita bersujud menyembah Allah yang tunggal dan maharahim yang akan menghakimi manusia pada hari kiamat.” Pun dan umat lain, yang mencari Allah yang tidak mereka kenal dalam bayangan dan gambaran, Allah tidaklah jauh, karena Ia memberikan semua kehidupan dan napas dan segalanya (lih. Kis. 17:25-28), dan sebagai penyelamat menghendaki keselamatan semua orang (lih. 1 Tim. 2:4). Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan penuh perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggara Ilahi juga tidak menolak memberikan bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat Ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apa pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai Persiapan Injil, dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang supaya akhirnya memperoleh kehidupan. Akan tetapi, sering orang-orang karena tipu oleh si jahat jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang sesat, yang mengubah kebenaran Allah menjadi dusta dengan lebih mengabdi kepada ciptaan dari pada Sang Pencipta (lih. Rm. 1:21 dan 25). Atau mereka hidup dan mati tanpa Allah di dunia ini dan menghadapi bahaya putus asa yang amat berat. Maka dari itu, dengan mengingat perintah Tuhan, “Wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15), Gereja dengan sungguh-sungguh berusaha mendukung misi-misi untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang itu.  Dalam hal keputusan Konsili Vatikan II ini, Panikkar maupun Rahner melihat bahwa dasar teologi bagi sikap saling menerima adalah keyakinan bahwa Kristus hadir dan dipercayai dalam agama-agama lain juga, bukan hanya dalam agama Kristen. Yang tidak dijelaskan ialah bagaimana suatu percakapan bisa berjalan di antara satu pihak yang mengenal kebenaran yang abadi dengan pihak lain yang–menurut pihak pertama–memegang kebenaran yang sama hanya tidak mengetahuinya. Baik Panikkar maupun Rahner dan orang-orang yang pemikirannya selaras–tidak membela sinkretisme karena keduanya tidak menyukai percampuran dari berbagai tradisi keagamaan hanya dengan tujuan membentuk sesuatu yang baru. Pemikiran ini mungkin cukup bermakna bagi orang-orang Kristen yang berusaha mengembangkan sikap yang positif terhadap orang lain. 

Oleh sebab itu Song, Panikkar dan Rahner sepakat dengan paham inkarnasi yang multireligius, yang adalah konsep inkarnasi yang tidak hanya terjadi pada agama-agama lain. Song memahami bahwa inkarnasi Yesus hanyalah sebagai salah satu inkarnasi Allah. Karena Allah juga berinkarnasi dalam semua agama dan kebudayaan. Ia juga memahami bahwa inkarnasi bukan hanya dalam pengertian inkarnasi pribadi kedua Allah Tritunggal, yakni Kristus, melainkan Song mengakui adanya inkarnasi Allah dalam banyak bentuk, bahwa Allah tidak hanya menyatakan dirinya dalam agama Kristen, melainkan juga menyatakan dirinya di dalam agama lain bahkan dalam budaya.  Kristologi yang universal yang disebut Song tersebut dapat dibandingkan dengan pemahaman Kristologi Teosentris S.J. Samartha, di mana ia melihat bahwa Kristologi Teosentris yang demikian akan memberi lebih banyak ruang teologis bagi orang Kristen untuk hidup bersama dengan sesamanya yang beriman lain. Kristologi Teosentris memberi dasar untuk mempertahankan Misteri Allah sementara mengakui keperbedaan Yesus Kristus. Kristologi ini memungkinkan komitmen kepada Allah di dalam Yesus Kristus tanpa mengambil sikap negatif terhadap sesama yang beriman lain dan pada saat yang sama menawarkan kerangka konseptual yang lebih menyeluruh untuk melakukan dialog. Hal ini akan menggeser penekanan dari sikap normatif menuju sikap relasional dengan sesama yang beriman lain. 

Jadi, tujuan momen khas mana pun perjumpaan antar-iman itu – dapat diduga – adalah menemukan jembatan persaudaraan bersama menuju cara bekerja sama antar-manusia untuk saling menerima tantangan dan mengasuh. Jembatan persaudaraan yang tidak melibatkan atau mengunggulkan kemenangan salah satu teori, lembaga atau budaya. Tetapi yang dengan cara tertentu dipersatukan dalam hubungannya dengan bentuk kebebasan dan kedewasaan manusia di hadapan Allah yang nyata di dalam diri Yesus. Dengan kata lain, tujuan kekristenan terlibat dengan tradisi-tradisi lain adalah untuk pembentukan anak-anak Allah agar serupa dengan Kristus. 

Sehingga tidak terjadi lagi persoalan seperti halnya orang Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah umat pilihan, sebagai perantara Tuhan untuk menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Untuk menjadi Yahudi harus mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan. Sementara agama Buddha mengklaim bahwa, Dharma adalah yang memelihara kebenaran penuh, penjelasan yang khusus dan efektif serta akhir diantara illuminasi dan wahyu tentang dunia. Adapun kalangan Kristen, Yesus Kristus adalah peletak dasar dan pusat agama, Dia juga Tuhan dalam bentuk manusia, karena kekristenan meyakini bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar, bahkan diyakini bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja. Sedangkan dalam Islam, ada kepercayaan tegas bahwa nabi Muhammad adalah nabi dan melalui Al-Quran Tuhan telah mewahyukan akan kebenaran agama Islam. Agama yang paling benar disisi Tuhan adalah Islam. Segala penyembahan harus kepada Allah, selain Allah adalah syirik, sebab syirik balasannya adalah kekal dalam neraka.  Dalam hal ini, secara filosofis, setiap agama dapat mengklaim kebenaran dalam agama masing-masing bahkan setiap agama dipandang memiliki kedudukan sama dan juga relatif sebagai sarana atau juga jalan manusia merespon Yang Absolut/ Sang Realita itu. Mendekati teks pun akan menjadi demikian, memulainya dengan sebuah ide terlebih dahulu (memakai istilah Gerrit Singgih) sebagai “prasangka”. Prasangka adalah prapaham yang dibiarkan tertutup, tidak pernah dibiarkan menjadi paham. 

Oleh sebab itu, penulis melihat dengan menghubungkannya dengan eksklusivisme agama Kristen selama berabad-abad, bahkan mungkin hingga sekarang. Persoalan masih sering berada dalam kategori dogma maupun teologi. Penggalian yang sering dilakukan dalam agama-agama sering berada dalam upaya untuk menunjukkan kekhasan atau keunikan agama tertentu. Eksklusivisme agama Kristen hanya akan menyebabkan kekerasan atas nama agama menjadi semakin dominan dan akan menyebabkan pertentangan antara agama kembali pada tataran dogma atau kredo, bukan pada persoalan manusia. Karena itu, pada sisi lain perlu dilakukan upaya-upaya untuk pencarian hal-hal yang universal pada diri agama sendiri. Upaya penggalian hal-hal yang universal ini bukan bertujuan untuk menghilangkan partikularitas agama, tetapi bagaimana supaya agama dapat secara seimbang melihat dirinya dan melihat sesamanya. Orang Kristen perlu menggali hal-hal yang universal sebagai dasar teologis kehidupan kristiani di dalam masyarakat yang majemuk ini.

Yesus Adalah Pusat Keselamatan

Tujuan dari setiap semua agama adalah pemahaman bahwa ada suatu tujuan atau perhentian akhir manusia. Manusia, tidak harus tinggal seperti apa adanya, tetapi harus mengalami transformasi yang kurang lebih radikal, suatu perubahan dengan tujuan untuk mencapai keadaan yang oleh agama Buddha disebut nirwana dan agama Kristen disebut soteria. Nirwana hanyalah berhentinya proses menjadi, berhentinya semua samskara, semua mata rantai, setiap kehausan. Nirwana adalah padamnya semua karma, istilah yang tidak dapat dijelaskan, pun juga menyangkut adanya dan sang akhir tanpa jalan masuk atau jalan keluar. Nirwana ada di seberang semua dialektika dan pemikiran tanpa subjek atau objek. Seluruh usaha diarahkan bukan untuk melukiskan dan memahaminya, melainkan untuk mencapainya. Tetapi pernyataan ini keliru kalau dipahami sebagai menghubungkan nirwana bagaimanapun juga dengan kehendak atau imajinasi manusia. Sebab nirwana tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak dibuat maupun tidak dijumlahkan. Jadi, nirwana adalah “hal” yang paling positif sebab ia menghancurkan ketiadaan. Dalam hal soteria, soteria abadi sifatnya sebab merupakan keselamatan hidup manusia. Ada jalan, sabda dan pengetahuan akan keselamatan. Yesus adalah penyelamat, Ia menyelamatkan umat manusia dari segala dosa dan tidak ada keselamatan selain dalam Yesus.  Dengan kata lain, baik nirwana maupun soteria tidak mengembangkan pemikiran dasar kosmologis atau metafisis. Nirwana adalah hilangnya kondisi manusia dan soteria adalah kebebasan dari dosa. 

Para inklusivis Hindu biasanya menilai doktrin dengan praktik Kristen sebagian benar, tercakup termasuk di dalam, dan bahkan digantikan oleh kebenaran-kebenaran hinduisme yang lebih luas dan lengkap. Oleh karena itu, keilahian Yesus Kristus tidak disangkal, melainkan dikukuhkan. Namun dinilai semata-mata sebagai salah satu dari contoh yang tidak sempurna dari sebuah fenomena yang sudah ada secara lebih lengkap dan sempurna di dalam hinduisme. Kaum neo-Hindu sering mengatakan bahwa semua agama benar, atau bahwa semua agama mempunyai tujuan yang sama, atau bahwa semua agama menggambarkan realitas tertinggi yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Rigveda sendiri seringkali dikutip untuk mendukung posisi ini: “kebenaran hanya satu, tetapi orang-orang bijak menamainya dengan nama yang berbeda-beda”. Sehingga, orang-orang Hindu dengan bersemangat telah memasukkan Yesus ke dalam dunia pemikiran Hinduisme (yang berlain-lainan) dan tetap setia kepada tradisi-tradisi mereka sendiri. Tidak seorang pun merasa terdesak untuk meninggalkan pandangan hidup Hinduisme karena Injil Yesus sendiri tidak menawarkan sesuatu apapun yang sama sekali baru atau berbeda dari ajaran-ajaran yang disampaikan nabi-nabi mereka atau yang terdapat di dalam tulisan-tulisan suci mereka. Dalam pandangan mereka, amanat yang disampaikan Yesus hanyalah pemunculan kembali kebenaran kekal yang satu adanya. Pada hakikatnya, Yesus pada masa hidup-Nya, tengah menyatakan kembali secara baru beberapa segi amanat kekal yang telah dilupakan dan diabaikan. 

Lain halnya dengan agama Yahudi yang tidak mengakui kebenaran dalam Yesus sebagai Tuhan. Yesus bukanlah “Mesias”, bukan “nabi” dan bukan pula “Allah”. Yesus adalah seorang “dokter dan guru” berkebangsaan Yahudi. Penyembuhan ajaib-Nya adalah penyembuhan melalui roh dan tidak dengan obat. Dalam hal keselamatan, Yesus tidak dapat menyelamatkan bangsa Yahudi sebab bagaimana mungkin seorang penyelamat, Tuhan mengalami kematian. Dalam hal ini, agama Yahudi tidak mengakui karya keselamatan Yesus sebab Yesus hanyalah manusia biasa. Oleh sebab itu, agama Yahudi masih menanti kedatangan Sang Kristus (Meshiah).

Begitu juga dengan agama Islam juga tidak mengakui keselamatan dalam Yesus, mereka hanya mengakui bahwa Yesus sebagai Isa Al-Masih, nabi yang diutus Allah. Sebab Yesus adalah manusia yang mendapat ilham dari Allah, seorang jenius spiritual yang dapat disejajarkan dalam deretan para nabi besar, termasuk Musa dan Muhammad sendiri. Islam tidak mengenal seorang “pengantara” pada keselamatan. Juga tidak ada suatu “sejarah keselamatan”. Yang ada “sejarah kenabian” di mana Allah terus-menerus mengutus nabi-nabi-Nya yang sudah diberikan kepada Adam. Oleh sebab itu, manusia tidak dapat menunjuk kepada siapa pun, dengan keterbatasan dan suatu tanggal lahir dan semata-mata mengatakan, “orang itu adalah Allah”. Bagi Al-Qur’an hal itu tidaklah mungkin, tidak masuk akal, dan tidak dapat diampuni. Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an (Surah 4:171-172; bnd. Surah 5:77) dan (Surah 5:72-75) yang berisikan tentang inkarnasi dan Tritunggal.

Selanjutnya agama Buddhis mempostulasikan kemampuan di dalam konteks dua sisi: “tidak ada jiwa” dan “tidak ada Allah”. Karena Buddhis tidak mengakui adanya sumber pertama pembebasan (“tidak ada Allah”), manusia yang semata-mata merupakan rangkaian peristiwa psikofisik yang melayang-layang tanpa substratum (“tidak ada jiwa”) yang kekal, harus mengandalkan “pribadi” sendiri atau citta demi pembebasan (atta-sarana). Karena itu, citta adalah apa yang dikembangkan menuju pencapaian penuh atas Kebebasan Mutlak atau nirwana. Dalam hal ini, Sang Buddha mengajarkan Jalan ini ditempuh oleh masing-masing manusia dengan melatih kesadarannya agar ia menjauh dari segala upaya untuk “mempunyai” sesuatu, karena mempunyai berarti bahwa bukan benda itu yang dipunyai melainkan benda yang mempunyai atau menguasai si pemiliknya–yang menaklukkan hasrat dan hawa nafsunya padanya. Jalan yang dimaksud dalam kekristenan ialah Yesus sebagai Jalan keselamatan.

Dalam hal ini, penulis melihat bahwa Yesus Kristuslah yang menjadi pusat penyelamatan itu.  Gambaran Kristus yang telah mengosongkan diri dan merendahkan diri-Nya ini bukan hanya pura-pura menjadi manusia atau menjadi manusia secara kulit saja. Melainkan Kristus yang demikian benar-benar memasuki kondisi kemanusiaan, yang benar-benar hadir bersama manusia yang terpinggirkan dan tersisih untuk melakukan penebusan dan pembebasan manusia. Kristus yang telah berinkarnasi ini sebagai hikmat penebusan Allah yang menerima kondisi perhambaan bagi diri-Nya, menebus manusia serta memulihkan kosmos di bawah kemenangan-Nya sebagai Tuhan penebus.  Kristus kosmos itu mempersatukan segala sesuatu dan mendamaikan segala sesuatu baik di surga maupun di bumi. Jadi Kristus hadir di dalam semua ciptaan, dalam seluruh eksistensi manusia. Implikasinya jelas, bahwa semua manusia menyadari atau tidak, menerima Yesus Kristus secara eksplisit atau tidak semua ditawari anugerah dan pendamaian melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya.  Pendamaian  dalam Kristus tidak berarti menjadikan manusia harus sama, tetapi pendamaian yang menerima adanya realitas yang berbeda. Misi dengan kerendahan hati bersama agama lain akan menciptakan rekonsiliasi, sebagaimana rekonsiliasi yang dilakukan Allah di dalam Kristus adalah menyangkut rekonsiliasi dengan sesama yang menghancurkan tembok pemisah dan permusuhan.  Dalam konsultasi Misi Dewan Gereja-gereja se-Dunia di San Antonio menyatakan bahwa: “Dalam menegaskan ulang “mandat penginjilan” dari gerakan oikumenis, kami ingin menegaskan bahwa kami tidak pernah mengklaim memiliki pemahaman yang sempurna tentang kebenaran Allah, sebab kami hanyalah penerima anugerah Allah. Kami tidak dapat mengarahkan sumber keselamatan kami selain kepada Yesus Kristus, namun segera kami pun tidak dapat membatasi kuasa penyelamatan Allah. Dengan mengakui hakikat dialogis dari kesaksian kami, oleh karunia kami harus mengakui bahwa keselamatan ditawarkan kepada seluruh ciptaan melalui Yesus Kristus. Misi kami untuk menjadi saksi Kristus tidak akan pernah selesai.” 

Untuk itu diperlukan semacam kerendahan hati epistemologis untuk mengakui bahwa ada narasi-narasi lain dan pengalaman lain dalam umat beragama lain yang membuka kemauan untuk mendengarkan dan tidak langsung menyalahkan agama lain, karena mungkin saja Allah berbicara kepada kita (baca: Kristen) melalui orang lain. 

Dalam hal ini, Song melihat bahwa pada hakikatnya satu agama memiliki banyak kaitan dengan spiritualitas yang lain. Hal ini yang sering dilupakan oleh orang Kristen dengan menjadikan pembedaan yang sangat eksklusif, dengan istilah “Kristen” dan “non-Kristen”. Diskriminasi sering terjadi dengan menjadikan Kristen sebagai pusat segala-galanya. Orang Kristen perlu membiasakan diri dengan gagasan bahwa Allah dapat dijadikan sebagai yang mutlak, walaupun mungkin dalam saat tertentu sebuah pusat lebih dominan dan dari posisi itu, dapat ditemukan sudut pandang baru yang lebih baik mengenai pusat-pusat lain. Teologi transposisional sangat diperlukan karena Allah adalah Allah yang transposisional. Allah bergerak di dalam dan di luar batas-batas nasional, membuang batas-batas keagamaan dan mengatasi batas-batas geografis. Iman dibesarkan dari lingkungan agama tertentu, tetapi iman yang berjumpa dengan Allah harus melepaskan dirinya dari wilayahnya sendiri. Ia harus melewati batas-batasnya sendiri dan mengembara ke ranah-ranah kehidupan dan sejarah yang selama ini asing baginya. Ia mencari persekutuan dengan iman-iman lain dan bersukacita karena kekayaan belas kasih Allah. dalam iman yang seperti inilah Allah berjumpa dengan manusia dan manusia berjumpa dengan Allah. dalam iman itu, manusia berjumpa dengan sesama manusia, hidup bersama dengan orang lain dalam segala kesukaan dan kegagalan serta rentetan krisisnya. Teologi salib mengisahkan kepada dunia bahwa di dalam Kristus tidak ada orang asing, sebaliknya dengan salib di mana Allah dan manusia berjumpa dalam penderitaan dan pengharapan, adalah hati setiap orang dalam setiap masyarakat dan setiap bangsa.

Dalam kaitan universal, Song mempertanyakan universalitas doktrin Kristen yang dibatasi oleh gereja. Pusat gereja memang adalah Kristus tetapi Song melihat bahwa karya Kristus tidak terbatas dalam gereja saja. Dengan demikian akan muncul pertanyaan, bagaimana karya Kristus bagi yang tidak termasuk dalam keanggotaan gereja. Dalam kerangka ini, Song menyatakan bahwa perlu adanya pembaharuan teologi dan mengkonsepsi ulang misi dengan mendasarkannya pada wahyu atau pernyataan bukan pada gereja. Song mengutip pandangan Tillich yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua agama memiliki kekuatan penyataan dan penyelamatan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini seharusnya membuat orang Kristen bergembira karena Kristen bukan satu-satunya jalan kebenaran bagi Allah dan bergembira karena kasih Allah dalam Yesus Kristus juga hadir di luar gereja.  Lebih lanjut Ghazali mengatakan dalam bukunya faysat al-tafriqa mengakui bahwa di dalam kondisi-kondisi tertentu, khususnya mereka yang tulus dan hidupnya jujur, orang-orang non-Muslim dapat diselamatkan. Dalam hal keselamatan inilah Muhammed ‘Abduh mengungkapkan sebuah pandangan yang serupa dalam tafsirannya terhadap ayat berikut di dalam Al-Quran:

Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Surah 2:62).

Oleh karena itu, bukanlah tidak mungkin baik untuk Islam maupun Kristen, atau untuk agama-agama besar lainnya, berdasarkan teks-teks mereka dan dengan dukungan bahkan dari suatu tradisi teologis kuno, untuk menguraikan suatu teologi yang akan memungkinkan adanya lebih dari satu jalan keselamatan, semata-mata karena tidak dapat melarang kebaikan Ilahi melimpah berdasarkan keadilan, kemurahan, dan kasihnya, melampaui batas-batas yang ketat dari gereja mana pun untuk merangkul semua orang yang berkemauan baik yang hidup dalam cara yang penuh keteladanan.  Pada akhirnya, Allah akan tetap sepenuhnya dan sama sekali bebas sebagai Dia yang menghakimi dan manusia menyerahkan diri dengan penuh keyakinan kepada hikmat-Nya. Betapapun juga manusia harus berupaya agar tidak menggantikan Dia dalam menghakimi.

Song mengingatkan pentingnya kehati-hatian akan penekanan keunikan sebuah agama terhadap agama lain. Keunikan agama jika dijadikan sebagai dasar untuk melihat agama lain sering menjadikan semangat eksklusivisme. Dalam faktanya penggunaan seperti itu telah menjadikan banyak orang Kristen Asia menjadi terpisah dari pemahaman religiositas yang ada dalam agama Asia yang lain. Setiap agama adalah respon terhadap ultimate reality, yang karena adanya perbedaan faktor cultural dan historis mengakibatkan adanya perbedaan terhadap ultimate reality tersebut. Karena itu, Song menyatakan bahwa kita harus mengakui adanya pluralisme agama. Namun Song juga menekankan universalitas Yesus Kristus sebagai hal yang penting dalam berteologi kontekstual di Asia, Kristus adalah semua dan ada dalam segala sesuatu (Kol. 3:11). Tetapi pernyataan ini dilihatnya sebagai pernyataan ontologis, karena realita kehadiran Kristus tidak terletak pada apresiasi manusia bukan sebagai penyataan untuk menyatakan agama yang lain sebagai yang salah. Sebagai kesadaran manusia untuk mencari keabsolutan kebenaran realitas Ilahi, di dalam agama-agama bisa bertemu dengan kebenaran Allah, walaupun dalam cara yang terpotong-potong dan sering tidak sempurna. Artinya bahwa bukan menjadikan Allah dalam strait-jacket teologi yang cenderung membatasi Allah dan apa yang Ia lakukan. Universalitas Kristus tidak menjadikan teologi Kristen menjadi eksklusif tetapi sebaliknya pengenalan kebenaran dan anugerah Allah yang demikian akan memperkaya kekristenan itu sendiri.

Untuk itu, Song menyatakan bahwa kehadiran Yesus Kristus adalah spiritual pembebasan baru yang menghancurkan partikularitas agama-agama. Kehadiran agama merupakan jalan partikular dalam masyarakat yang partikular dan dalam situasi yang partikular, sehingga partikularitas merupakan bagian dari agama. Persoalan yang sering terjadi disebabkan karena keinginan untuk menjadikan agama sebagai universal. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kebenaran agama harus diganti dengan kebenaran agama lain. Relani universal – partikular ini menjadi penting karena sangat sulit menilai agama lain jika tidak melalui nilai intrinsik yang ada dalam agama itu sendiri. Karena itu, Kristen dan agama lain perlu mengembangkan eksklusif mutual untuk pengenalan kedalaman makna spiritual dalam agama-agama. Teologi harus terlibat dengan jantung, hati, dengan anggota-anggota tubuh dan tidak kehilangan mobilitasnya. Allah, yang prihatin terhadap seluruh dunia dan seluruh umat manusia, tidak dapat diam di suatu tempat dan terpenjara dengan suatu tempat tertentu. Allah tertarik dengan persoalan apa saja, karena itu apabila teologi ingin berurusan dengan Allah, ia tidak boleh menutup medan manapun. Medan-medan teologi harus dibuka karena medan-medan Allah sendiri terbuka.  Oleh sebab itu, masing-masing harus mengakui bahwa Allah dapat saja melakukan apa yang menurut iman yang lain telah Ia lakukan, bahkan sementara masing-masing iman itu mempertahankan keyakinannya tentang apa yang telah Allah lakukan dan bagaimana Ia melakukannya.  Dengan kata lain agama-agama tidak dapat menutup kemungkinan bahwa Allah bekerja dan hadir dalam setiap agama.

Dalam hal ini, Song dengan jelas membedakan kebenaran agama dengan dogma atau credo, karena dogma atau credo sering dipandang sebagai kriteria penerimaan seseorang dalam sebuah iman agama tertentu. Tetapi kebenaran yang dimaksud adalah bahwa Yesus Kristus hadir dalam situasi manusia bukan sebagai dogma atau aksioma, tetapi sebagai kebenaran personal. Yesus Kristus sebagai kebenaran dihadirkan dalam perjumpaan dengan sesama bukan semata-mata dijadikan sebagai objek impersonal penyembahan. Misi bukan merupakan kritikan terhadap agama lain, tetapi bagaimana memproklamasikan Yesus Kristus sebagai jalan kebenaran dan kehidupan. Selain itu dibutuhkan interpretasi tentang apa makna Alkitab bagi dunia dan pengalaman Kristen sebagai bagian dari pengalaman. Firman Allah tidak dapat diartikan tanpa pemahaman akan bahasa dan pikiran masyarakat dengan seluruh tradisi religio-kultural dan kondisi sosial politiknya. Dengan kata lain, Yesus Kristus sebagai yang universal bukan berarti bahwa agama Kristen menjadi universal. Penekanan Song dalam hal ini sangat jelas, sehingga ia mengutip istilah A.C. Bouquet tentang Kristen Buddhis, Kristen Vedantis, Kristen Muslim untuk menunjukkan kehadiran Kristus yang universal dan tidak dibatasi oleh dogma. Dengan pemahaman ini, maka menurut Song, yang terutama dalam misi Kristen adalah konversi kepada Yesus Kristus dan bukan kepada kekristenan. Karena dalam Yesus Kristus partikularitas agama diatasi dan melalui Dia semua manusia dipersatukan dalam kasih universal Yesus. Sehingga dapat dilihat bahwa Song sangat menekankan universalitas Yesus Kristus, namun Song menolak jika hal itu menjadikan dogma menjadi tertutup. Kristologi yang dibangun Song menyiratkan bahwa kebenaran Yesus tetap merupakan pokok utama yang sifatnya universal, namun hal ini dituangkannya dengan menyatakan bahwa aspek utama dalam hal tersebut adalah kasih yang tidak dibatasi hanya dalam gereja saja. Melainkan Song melampaui keagamaan yang formalistik partikular dengan menekankan nilai yang universal. 

Sehingga, Song menggunakan pendekatan sosiologis dan antropologis mengenai kisah menara Babel dan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus, sehingga menyimpulkan sesuatu yang sudah bukan lagi menjadi point utama kisah tersebut. Ia menyimpulkan mengenai kehancuran konsep sejarah keselamatan dalam satu garis lurus yang berpusat pada Yesus dan menegaskan mengenai karya keselamatan Allah yang sifatnya universal.  Bagi Song, Injil tidak hanya berkuasa untuk mengubah, tetapi juga Injil adalah harus berubah supaya dapat diterima dalam segala konteks.  Sejalan dengan hal ini juga, Eka Darmaputera mengatakan bahwa Allah tidak berhenti berfirman setelah Ia menyatakan kehendak-Nya melalui Alkitab. Artinya, bukan berarti Darmaputera tidak mengakui bahwa Alkitab satu-satunya wahyu Allah yang final atau tidak mengakui kebenaran Alkitab adalah kebenaran mutlak. Melainkan, rancang bangun teologi tidaklah harus mengacu kepada hal-hal yang sudah ada, yaitu kitab-kitab Injil atau tulisan gereja mula-mula; juga tidak mengacu pada semua kitab kanonik, melainkan mengacu kepada wawasan penafsiran yang baru dan terbuka, serta yang berdaya cipta untuk menyingkapkan misteri Yesus.  Lebih lanjut Darmaputera berpendapat bahwa, teologi harus amat memperhatikan tradisi. Karena Allah terus-menerus berfirman secara baru di setiap zaman. Dengan kata lain, bukan berarti posisi tradisi lebih tinggi dari pada Injil. Tradisi adalah sumber kesaksian tentang upaya umat kristiani untuk memahami kehendak Allah di sepanjang zaman. Artinya bahwa, Darmaputera yakin bahwa ada kehendak Allah yang kekal dan universal. Kehendak Allah yang kekal dan universal itu sampai kepada manusia melalui Alkitab dan tradisi. Tetapi di dalam Alkitab maupun di dalam tradisi, kehendak Allah yang kekal dan universal itu juga adalah kontekstual. Oleh karena itu, yang menjadi masalah adalah bagaimana memahami kehendak Allah yang telah sampai kepada manusia melalui konteks yang lain itu, sehingga ia merupakan kehendak Allah yang benar-benar menyapa umat manusia dalam konteks manusia, di sini dan kini.  Dalam hal ini, jelas bahwa Allah bekerja dalam setiap waktu, masa bahkan di segala zaman. Artinya bahwa, firman Allah berkembang dalam setiap waktu maupun ruang.

Dalam hal keselamatan, Song menyatakan bahwa jalan-jalan Allah yang luas, yang ada di luar tradisi Yahudi-Kristen.  Dengan kata lain, bahwa Song mengakui adanya kebenaran Allah di luar kebenaran Alkitab.  Dalam pemahaman Song ini, penulis sependapat dengan apa yang dikatakan Song, sebab Allah adalah Allah yang tidak terjangkau, tidak dapat dibatasi oleh pemikiran manusia. Allah itu sifatnya dinamis dan bukan statis. Jikalau statis, Dia bukanlah Allah melainkan benda yang dapat dikungkung oleh manusia. Lebih lanjut, Song mengembangkan teologinya berdasarkan tradisi yang dinamakan cerita-cerita rakyat dan kemudian mensingkronisasikan tradisi tersebut dengan cerita-cerita Alkitab yang kemudian melahirkan pernyataan doktrinal.

Seperti halnya cerita tentang Kornelius dalam Kisah Para Rasul 10. Pertanyaan yang menjamur pada saat itu dan di zaman era postmodern ini ialah “apakah keselamatan Kristus hanya ditawarkan kepada orang Yahudi saja? Kalau keselamatan Kristus juga untuk orang kafir (non Yahudi), apakah mereka harus mengkonfirmasikannya dengan upacara tertentu seperti orang Yahudi? (Lih. Kis. 15:1-14). Mereka berpendapat bahwa: “Kornelius adalah seorang perwira Romawi yang tinggal di Kaisarea, ia saleh, ia serta seisi rumahnya takut akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdoa kepada Allah (Kis. 10:2). Berkenaan dengan teks ini, kaum pluralis berpendapat bahwa Lukas sedang menceritakan kepada penulis mengenai Kornelius yang walaupun seorang kafir, adalah seorang yang setia, percaya kepada Yahweh.  Dalam hal ini, Lukas memaksudkan bahwa Petrus menyadari bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus di kayu salib, bukan hanya monopoli orang Yahudi, melainkan juga untuk orang-orang di luar Yahudi. Kisah Para Rasul memberitakan konsep keselamatan yang baru sifatnya, yaitu keselamatan yang melampaui batas-batas budaya, etnik, ras dan bangsa. Hal ini dimulai dengan lahirnya gereja sejak peristiwa pentakosta, di mana banyak orang dari segala suku bangsa, budaya, bahasa dan bangsa yang berkumpul di Yerusalem menyaksikan perbuatan Tuhan. Dalam hal ini, Petrus menyaksikan bahwa keselamatan adalah terbuka untuk semua orang, karena karya Kristus yang menyelamatkan adalah cukup untuk semua orang, namun hanya efektif bagi mereka yang telah ditentukan untuk percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Dalam Kisah Para Rasul 10:34-36, yang berarti bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dari semua orang. Dengan kata lain, Allah tidak membedakan orang dan keselamatan-Nya bukan hanya monopoli orang tertentu, melainkan untuk semua orang, namun semua orang ini, yaitu mereka yang percaya kepada Kristus Yesus. Dalam kaitan ini, memang Kornelius tidak diselamatkan oleh karena perbuatan ataupun kesalehannya, melainkan karena ia percaya kepada Tuhan Yesus (Lih. Kis. 10: 44-48).

Choan Seng Song menggunakan cerita-cerita rakyat dan fakta-fakta mengenai keprihatinan sosial (konteks), kemudian mensingkronisasikannya dengan Alkitab (teks) untuk membangun teologi transposisinya. Dalam hal ini, teks Alkitab hanyalah simbol yang menandai bahwa pemikiran tersebut adalah pemikiran Kristen. Dalam tulisannya, Song memakai banyak dongeng dan cerita-cerita rakyat, karena baginya semuanya itu terkandung nilai budaya dan rohani yang dalam. Makna yang diperolehnya dari dongeng dan cerita-cerita rakyat dikonfirmasikan dengan Alkitab dan dijadikan rumusan teologi.  Dalam hal ini, Alkitab berperan hanya untuk mendukung konsep yang dibangunnya dari kesimpulan awalnya mengenai situasi kondisi sosial yang pincang. Untuk memperkuat pandangannya, Song sangat berantusias mengakui kesamaan teologi transposisinya dengan teologi pembebasan, teologi hitam dan teologi perempuan, yang menurutnya adalah teologi yang telah berhasil dalam bertransposisi dalam konteks tempat dan waktunya. 

Dengan berteologi sebagaimana dinyatakan Song, dimungkinkan sikap yang positif untuk mengatasi kekerasan atas nama agama. Kebutuhan akan spiritualitas akan membawa sikap sikap rendah hati untuk mendengar agama lain. Kerendahan hati berteologi ini pada prinsipnya merupakan bagian dari panggilan berteologi untuk menciptakan shalom kerajaan Allah. Kerendahan hati ini sangat penting dalam kaitannya dengan Teologi Religionum (Teologi Agama-agama) dalam upaya memberi respons terhadap kenyataan sosial bukan semata-mata akademis saja, tetapi juga sebagai praksis tindakan pembebasan bersama-sama dengan agama lain sebagai sebuah self understanding yang baru bagi gereja-gereja dan umat Kristen.  Secara historis dan secara kultural, non-Kristiani telah ada di Asia sebelum Kitab Suci Kristen, sehingga tugas teolog Asia tidak hanya menginterpretasikan narasi Kristen, tetapi juga menginterpretasikan makna teologis narasi non-Kristen untuk menjadikan teologi berguna bagi setiap orang. Pengetahuan tentang karya Allah dapat diperoleh melalui sharing bersama-sama dengan penganut agama lain, inilah yang disebut sebagai third-eye theology. 

Dalam hal inkarnasi, Kristus terkait dengan Allah dari kekekalan dan dengan seluruh alam semesta dalam kembalinya seluruh ciptaan itu pada sang pencipta dalam suatu cara yang telah tergenapi. Yesus Kristus melalui misteri inkarnasi-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kedatangan-Nya yang kedua, mengaitkan yang Ilahi dan manusiawi. Dalam Dialah Allah, alam, sejarah dan semua manusia dari segala waktu dijalin secara misterius melalui cara yang tidak dapat dibayangkan. Rasul Paulus menyajikan intuisi yang lebih mendalam mengenai peranan Yesus sebagai Kristus yang kosmik. Menurut Paulus, Yesus Kristus menyatukan segalanya. Ia adalah ada yang terdalam dari segala hal yang hidup dan yang mati. 

Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (Kol. 1:15-20).

Dengan kepenuhan Allah berada dalam Kristus, segala sesuatu didamaikan, tidak ada diskriminasi yang didasarkan pada warna kulit, agama, status ekonomi, latar belakang etnis atau jenis kelamin.

Dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu (Kol. 3:11).

Sehingga jelas bahwa kedatangan Yesus bukan untuk menciptakan perbedaan, pengkotak-kotakan, partikularisme melainkan menghadirkan pendamaian dan keselamatan yang universal.


MAKNA KESELAMATAN YESUS YANG UNIVERSAL DAN REFLEKSINYA BAGI KESELAMATAN DI DALAM AGAMA-AGAMA LAIN

Kasih Allah Yang Universal

Kasih adalah suatu hal yang paling sederhana namun juga paling dahsyat. Ia menjadikan kehidupan, mempertahankan, memelihara dan memperkaya. Kasih adalah Firman yang dengannya Allah datang kepada kita dan kita kepada Allah. “Allah itu Kasih”, kata 1 Yohanes 4:8. Dalam hal ini, jelaslah bahwa bagi setiap orang, kasih bukanlah sebuah konsep geometris. Ia tidak dapat diukur dengan mistar. Ia tidak dapat ditimbang pada timbangan. Ia tidak dapat diluruskan dengan garis. Dan yang paling tidak mungkin ialah, kasih sebagai garis lurus. Kasih itu bundar, tidak lurus. Ia tidak menembus angkasa seperti sebuah garis lurus, melainkan mengisinya dan menyapunya. Ia bukanlah suatu gerakan linear melainkan gerakan konsentris. Ia tidaklah analitis melainkan sintetis. Ia tidaklah menghakimi melainkan merangkul. Sebuah garis lurus menghakimi, menghukum, menghapuskan, tetapi kasih mengampuni, memeluk dan mencakup. Dalam artian bahwa Allah bukanlah garis lurus, melainkan kasih. Allah garis lurus dari Heilsgeschichte adalah Allah yang keras, ketat yang telah menentukan sebelumya siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan dihukum. Lebih lanjut, Allah garis lurus tentulah Allah yang monoton dan tidak menarik. Allah dari teologi tradisional berwajah muram, duduk dengan murung di takhta teologis. bahkan orang-orang kudus dan para malaikat yang mengelilingi takhta kudus itu terperangkap dalam suasana murung dan serius dari Allah garis lurus tersebut.  

Sehingga dapat dikatakan bahwa ternyata keselamatan itu bukanlah garis lurus sebab sama halnya Allah garis lurus dengan Allah yang berada di pikiran manusia, di mana manusia dapat mengatur Allah sesuai dengan pikiran manusia. Dengan kata lain, keselamatan yang dipikirkan oleh manusia adalah mutlak keselamatan dari Allah. Dan kasih Allah berlaku bagi setiap orang tanpa ada garis pemisah satu sama lain. Allah ingin menyelamatkan manusia sebab mereka adalah hasil kerja tangan-Nya dan diciptakan dalam citra-Nya. Keadilan menuntut hukum dan kehormatan Allah harus dikembalikan dan cinta mendatangkan belas kasihan. Jalan keluarnya telah ditemukan. Allah akan datang menyelamatkan hamba-Nya. Penyelamat akan datang dari dalam Allah Trinitas itu. Puteralah yang membayar harga yang manusia tidak dapat melakukannya. Allah yang menanggung hukuman untuk diri-Nya. Putera mati di salib dan tebusan sudah dibayar. Allah memulihkan kehormatan-Nya sendiri, dengan kemanusiaan ditebus.

Keselamatan Berpusat Pada Yesus Terhadap Agama-Agama Lain Dalam Konteks Pluralistis

Dalam hal keselamatan Yesus Kristus, keselamatan diberikan kepada manusia. Yesus dibangkitkan sebagai “yang sulung”, permulaan dari proses penyelamatan yang meliputi dunia seluruhnya (bnd. 1 Kor. 15:20-23; Kol. 1:18). Kebangkitan Yesus merupakan permulaan keselamatan umat manusia. Dalam Yesus, Allah telah menerima umat manusia kembali, “memberkatinya dengan segala berkat rohani” (Ef. 1:3), “menguduskannya” (1 Kor. 1:2). Kemuliaan yang telah mulai dengan kebangkitan Yesus itu diperuntukkan Allah bagi manusia dan bagi dunia. Dan dapat dikatakan bahwa kebangkitan Yesus adalah jaminan masa depan manusia.

Penerimaan umat manusia oleh Allah dalam Yesus Kristus itu boleh diistilahkan sebagai “penyelamatan objektif”. Akan tetapi penerimaan ini masih harus dinyatakan dalam hidup manusia, yakni melalui iman kepercayaan orang percaya kepada Kristus, apabila membuka diri bagi belaskasihan Allah. Iman ialah langkah pertama dalam proses penyelamatan tiap-tiap manusia secara pribadi. Proses inilah yang dapat disebut “penyelamatan subjektif”. Penyelamatan subjektif ini hanya mungkin dalam iman. Artinya bahwa “meratanya” keselamatan kepada semua orang (berkat kemenangan Yesus atas dosa dan maut) tidak terjadi secara otomatis, tidak dengan sendirinya. Allah tidak “memaksakan” keselamatan itu kepada manusia melainkan mewartakannya dengan jalan mengajak dan mengundang manusia mengikuti jalan Yesus. Untuk itu memang perlu keberanian, karena jalan Yesus adalah jalan salib. Orang percaya dipanggil untuk bersama Kristus memikul salib (Mrk. 8:34; Mat. 10:38) sambil mengalami kuasa dosa dalam diri manusia. Sebagaimana Yesus sendiri harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (Luk. 24:26), begitu pula para murid-Nya harus mengalami banyak sengsara untuk masuk ke dalam kerajaan Allah (Kis. 14:22).  Dengan demikian, ingin ditegaskan kemunculan Yesus sebagai kehadiran Allah sendiri untuk menyelamatkan umat-Nya. Yesus sendiri yang mengindentifikasikan diri-Nya, dan bukan para pengikut-Nya. Dalam hal ini Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. 

Dalam hal keselamatan ini juga, bukan seruan “Yesus itu Tuhan” dengan sendirinya menyelamatkan. Karena bukan setiap orang yang berseru “Tuhan, Tuhan!”, yang akan diselamatkan, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa (Mat. 7:21). Mengatakan “Yesus adalah Firman” tidaklah cukup, Firman harus didengar dan dilaksanakan agar seseorang dapat diselamatkan. Mengatakan bahwa “Yesus adalah Jalan” tidaklah cukup; orang harus menempuh jalan itu untuk mencapai tujuan akhirnya. Lebih dari itu, tidak semua yang menaati Firman atau menempuh jalan itu merasa wajib untuk mengklaim nama sesungguhya sebagai Yesus. Sebab, yang memperantai keselamatan bukanlah “nama” Yesus dalam pengertian istilah “nama” yang Helenistis, melainkan nama Yesus dan sebagai Yesus di dalam pengertian Ibrani tentang “realitas” (atau perantaraan yang menyelamatkan) yang harus dilihat bekerja di dalam Yesus, bebas dari nama atau julukan yang mungkin diberikan kepada-Nya. Malah, pengetahuan tentang nama atau gelar itu tidak diharapkan oleh Sang Hakim eskatologis, tetapi pengetahuan tentang jalan itu (Mat. 25:37-49 dan 44-46). 

Seperti yang tertulis dalam dokumen Dominus Iesus yang menekankan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya wahyu Allah yang definitif dan sempurna. Dia adalah Sang Logos yang berinkarnasi menjadi manusia. Karya keselamatan-Nya unik dan universal, menyangkut semua orang. Karena itu, Dia bukan seorang tokoh pendiri agama yang bisa dijajarkan dengan tokoh-tokoh agama lain. Dalam kaitan dengan ini, gereja adalah sarana tak tergantikan yang membawa manusia ke warta yang disandang oleh Yesus Kristus, yakni menuju kerajaan Allah. Karena itu, gereja mesti menyadari bahwa tugasnya yang pertama adalah membawa manusia menuju kerajaan Allah lewat Yesus Kristus, bahkan lewat pembaptisan. 

Pada kenyataannya, kerinduan manusia akan keselamatan koinsiden dengan Allah yang menghendaki keselamatan manusia. “Demikianlah juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang” (Mat. 18:14), kata Yesus kepada murid-murid-Nya. Lagi, “Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (Yoh. 6:39). 

Jadi, orang Kristen tidak disuruh menaklukkan orang lain agar dunia semakin baik, melainkan disuruh hidup secara baru. Hidup secara baru adalah hidup berpusat kepada Allah, seperti yang dikatakan Yesus:

“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat. 5:46-48)


Dalam hal ucapan Yesus di atas ialah agar orang percaya harus “tampil beda” dari yang lain. Harus terus berusaha menjadi sempurna, yaitu hidup yang terpusat kepada Allah yang tidak membatasi perbuatan-Nya hanya kepada kelompok tertentu.  

Pribadi Kristus, misionaris lintas batas telah mengawali misi keselamatan semesta. Dialah pribadi soteriologis, sesuai dengan makna nama “Yesus” yang diberikan kepada-Nya, yakni “Tuhan penyelamat”. Komunitas-komunitas kristiani yang dibangun di atas dasar nilai-nilai yang diajarkan-Nya telah dipanggil dan ditentukan untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa dan ditugaskan untuk memperjuangkan keselamatan sampai ke ujung bumi (bnd. Kis. 13:47). 

Seperti sudah terbukti, apa yang dikatakan Vatikan II tentang agama-agama lain bergaung bersama teologi Rahner yang baru – dengan dua pengecualian mencolok. Demi kepuasan banyak orang, konsili tidak menerima pandangan Rahner tentang umat beragama lain sebagai “Kristiani anonim” karena sebutan itu terlalu kontroversial bagi umat kristiani dan tidak mengenakkan bagi umat non-Kristiani. Tetapi banyak orang lain kecewa karena konsili tidak menyetujui konklusi Rahner bahwa agama harus dilihat sebagai kemungkinan atau kenyataan “jalan menuju keselamatan” – alat ini di mana Allah menghimpun manusia kepada-Nya. Sikap ini merupakan unsur utama dalam pandangan Rahner tentang agama. 

Makna Keselamatan

Puncak karya keselamatan terletak dalam kenyataan bahwa Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal menjadi solider dengan manusia, umat manusia yang berada dalam kegelapan maut sebagai “upah dosa” (Rm. 6:23). Putera Allah yang sejak kekal bersatu dengan Bapa, memasuki situasi dosa dunia, menerima kehampaan hidup manusia yang terpisah dari Allah itu dan rela mati bagi manusia (Gal. 1:4; Ef 5: 2, 25; 1 Tim. 2, 6). Solidaritas Yesus dengan manusia ini menjadi sumber keselamatan, justru karena dalam situasi dosa dunia, Yesus sendiri tidak berdosa. Dalam situasi keterpisahan dari Allah, Yesus menghayati hubungan pribadi-Nya dengan Allah.  Dalam hal solidaritas Yesus berbeda dengan solidaritas kelompok (mengasihi orang yang mengasihi kamu) bukanlah keutamaan. Solidaritas semacam itu paling kental di antara pencuri. Yesus mengajak orang untuk masuk dalam pengalaman solidaritas dengan umat manusia, pengalaman yang tidak eksklusif, pengalaman yang tidak tergantung pada tukar-menukar karena mencakup juga mereka yang membenci, menganiaya dan memberikan perlakuan yang tidak baik. Yesus terutama menghendaki solidaritas kasih yang sama sekali tidak mengesampingkan siapapun. Sikap dasarnya adalah solidaritas dengan umat manusia.  Begitu juga dengan hal keselamatan, Yesus menginginkan agar semua manusia diselamatkan.

Yesus Kristus mewartakan nilai-nilai ilahi dan insan yang merangkul setiap orang dan setiap kelompok manusia dengan menyingkirkan pola pikir dan pola hidup yang saling memisahkan. Praktik “liyanisasi” atau “marginalisasi” ini merupakan salah satu praktik negatif yang bertentangan dengan kehendak Allah pencipta. Seperti sikap inklusif dan pluralis Yesus sebagaimana dicatat oleh para murid-Nya dalam khotbah di bukit (Mat. 5-7). Misalnya, secara detail Yesus mengungkapkan inti misi ilahi-Nya ini. Dia berupaya membongkar pola pikir eksklusif orang-orang sezaman-Nya, utamanya para pemimpin bangsa Yahudi dan memasukkan kebaruan nilai bagi suatu tata sosial dan religius yang baru. Yesus Kristus meminjam terma kaum posmodernis-mendekontruksi pola-pola kesalehan lama yang eksklusif dan diskriminatif yang tidak adil dan tidak peka terhadap bimbingan Roh. 

Singkatnya, Yesus mengkritik arogansi religius bangsa-Nya, sikap eksklusif yang meremehkan dan melecehkan pihak-pihak lain, hanya karena alasan bahwa mereka “lain”. Kelainan (otherness), artinya “tidak sama dengan kita”, adalah intrinsik buruk secara moral dan kafir secara religius.  Sebab rencana keselamatan Allah itu untuk semua. Keselamatan itu pada intinya merupakan “rangkulan persaudaraan” dalam Allah, karena Allah adalah Bapa bagi setiap orang dan segala makhluk. Dengan inkarnasi sabda Allah, pertama-tama telah terjembatani wilayah ilahi dengan wilayah duniawi. Manusia ditarik kembali untuk membangun relasi intim dengan Allah dan dengan demikian dunia ini ditata kembali menurut tata ilahi. Dengan misteri inkarnasi ini pula Allah sendiri telah membongkar blockade pola pikir dan pola hidup eksklusif yang telah dibentuk manusia bagi dirinya sendiri. Terpisah dari Allah yang berarti hilangnya firdaus, begitulah tradisi Bapa-Bapa Gereja Yunani menyebutnya. Keselamatan berarti kembalinya firdaus yang hilang. Langkah-langkah perwujudannya adalah lewat pendidikan (paideia). Yesus Kristus telah datang untuk proses pendidikan itu, yang intinya adalah restrukturisasi tata batin manusia yang memungkinkan terbukanya jalan masuk bagi manusia kepada Allah.

Untuk menegaskan visi dan misi-Nya, Yesus bukan hanya mengajarkan nilai-nilai alternatif, tetapi juga menempuh langkah-langkah demonstratif yang mencengangkan orang-orang Yahudi sendiri. Misalnya, ejekan orang-orang Farisi kepada para murid Yesus: “mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa?” (Mat. 9:11; Mrk. 2:16). Pilihan Yesus untuk ada bersama dan bergaul dengan kelompok orang-orang najis ini menimbulkan kegusaran para pemimpin Yahudi, yakni orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (bnd. Luk. 15:2).

Pola pikir dikotomis dan pola laku diskriminatif ini merupakan salah satu bagian inti dari peradaban “bangsa pilihan” Allah: najis dan tidak najis, Yahudi dan bukan Yahudi, umat pilihan dan kaum kafir, dan sebagainya. Sekali lagi, “yang lain” itu buruk, karena mereka “tidak seperti kita”. Singkatnya, pergaulan dengan “yang lain” itu merupakan tindakan yang secara otomatis menajiskan diri. Apalagi orang masuk ke rumah orang kafir, itu adalah suatu scandalum yang menjijikkan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji (bnd. Mat. 8:8; Luk. 7:6). Guru-guru Yahudi yang ketahuan melakukan perbuatan-perbuatan tercela semacam ini tentu diragukan kualitas kerohanian dan wibawa keguruan mereka. Karena itulah, misalnya seorang Farisi yang bernama Simon yang menjamu Yesus di rumahnya dan mendapati tamunya ini membiarkan kaki-Nya diurapi dengan minyak oleh seorang perempuan berdosa, bertanya diri: “jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini, tentu Ia tahu bahwa perempuan ini adalah seorang berdosa” (Luk. 7:39). 

Ajaran dan contoh hidup Yesus ini tetap bergema dan gaungnya mengatasi batas-batas waktu dan tempat. Pesan mesianis Yesus bersifat universal. Dengan meneladani pesan missioner misteri inkarnasi ini, Konsili Vatikan II  merumuskan panggilan kontekstual gereja, artinya menanggapi problem-problem nyata masyarakat setempat dan sekaligus tidak terikat lekat pada konteks temporal dan lokal tertentu.  Sebab Yesus membiarkan Allah meraja dalam hidup-Nya, maka kepada orang miskin pun diwartakan kabar gembira (Luk. 4: 18-21; Mat. 11:4), kepada yang menderita dianugerahkan belas kasihan (Mat. 25: 31-45). Mereka yang menjadi sembuh mengalami kehadiran Yesus dan di dalamnya kehadiran Allah sendiri. Kelompok-kelompok dalam masyarakat disingkirkan dan ditekan mengalami solidaritas dan persahabatan yang tulus dari-Nya (Mat. 11:19; Mrk. 2: 14-17). Mereka yang bermusuhan berdamai lagi dalam Yesus (Mrk. 2:15-17 dan 3:18, Mat. 5:43-38). Juga karya Allah di luar kelompok diakui-Nya. “Barangsiapa tidak menentang kita, ia ada pada pihak kita” (Mrk. 9:40). Solidaritas Yesus menciptakan dan membangun kebersamaan atas dasar kasih dan keadilan. Juga bagi lawan-lawan-Nya Yesus memohonkan keselamatan dari Allah (Luk. 15:2, 28-30; Mat. 20:11). Jadi, Yesus Kristus bukan hanya saksi, melainkan peristiwa kasih yang tak terbatas.  Sebab keselamatan Yesus bersifat universal ialah sebagai perwujudan cinta kasih Allah. Sehingga keselamatan tidak dapat diartikan semata-mata hanya bersifat spiritual, vertikal dan “seberang sana”. Semua golongan akan setuju bahwa keselamatan bersifat menyeluruh, holistik, meliputi rohani maupun jasmani, vertikal maupun horizontal. Keselamatan diwartakan dan sementara itu yang mewartakan secara konkret juga melakukan tindakan-tindakan sosial. 

Sehingga dalam hal keselamatan, Yesus Kristus tidak membatasi bagi siapa saja yang datang kepada-Nya, dan tidak ada membeda-bedakan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sebab keselamatan yang Yesus Kristus berikan ialah keselamatan universal kepada semua orang. Dalam hal ini, Tuhan Yesus mengapresiasikan nilai-nilai sosial religius yang mengatasi Yudaisme. Misalnya, dalam menanggapi iman seorang perwira Romawi di Kapernaum, Yesus berkata kepada para pengikut-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai di antara orang Israel” (Mat. 8:10; Luk. 7:9). Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37) Yesus menegaskan keunggulan rohani kelompok yang dipandang remeh dan hina oleh orang-orang Yahudi, karena mereka hanyalah half-Jews. Atau, penduduk Samaria ini, bagi orang-orang Yahudi hanya a heretical and schismatic group of spurious worshiper of the God of Israel, who were detested even more than pagans. Juga kepada para murid-Nya Yesus mengungkapkan sikap inklusif ini: “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Mrk. 9:40). Di dalam Dia, Allah telah mendamaikan manusia dengan diri-Nya. Kristus itulah, gambar Allah (bnd. 2 Kor. 4:4; Kol. 1:15), yang menerangi sepenuhnya dan membawa ke kesempurnaannya gambar dan keserupaan Allah di dalam diri manusia. Firman yang menjadi manusia di dalam Yesus Kristus telah senantiasa menjadi kehidupan dan cahaya manusia, cahaya yang menerangi setiap orang (bnd. Yoh. 1:4,9). Allah menghendaki di dalam pengantara esa Yesus Kristus, Putra-Nya, keselamatan semua orang (bnd. 1 Tim. 2:4-5). Yesus pada saat yang sama adalah Putra Allah dan Adam baru, dalam pewahyuan rahasia Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur. Di dalam Dia, oleh Allah, kita “ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm. 8:29). Dan dalam pengajaran Yesus terkandung universalitas yang paling luas yang didasarkan pada kasih yang rela berkorban, tidak eksklusif, dan tanpa pamrih. Kata-kata-Nya dalam perjamuan terakhir membuktikan pentingnya universalitas itu di dalam diri-Nya sendiri: “inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu…” (Luk. 22:19).

Sikap Yesus dalam mengasihi sesama secara total dapat dianggap sebagai pewahyuan yang menyingkapkan makna relasi sejati antarmanusia. Manusia dengan akal budinya sering tiba pada kesimpulan bahwa sesama adalah orang asing, saingan atau bahkan musuh. Kesimpulan itu misalnya berdasarkan perbedaan kepentingan atau perbedaan ras, suku atau bahkan agama. Yesus mewahyukan bahwa sesama adalah sahabat yang harus dicintai. Bahkan, struktur natural seperti ayah-ibu dan saudara sedarah diperluas maknanya oleh Yesus. Menjawab pertanyaan-Nya sendiri, “Siapakah ibu-Ku, siapakah saudara-saudara-Ku?, Yesus mengatakan sambil menunjuk kepada para murid-Nya, “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku. Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat. 12:48-50).  Sehingga dapat dikatakan bahwa Yesus membuka wawasan baru bagi relasi antarmanusia. Yesus memberi isi kepada cinta kasih antarmanusia dengan menyerahkan nyawa-Nya. Yesus menunjukkan suatu mutu cinta kasih yang baru dan radikal dalam relasi antarmanusia. Dengan memberikan hidup-Nya untuk berkurban bagi kepentingan orang banyak, Yesus memberi arti pada cinta kasih persaudaraan. Dengan cara itu, Yesus mempengaruhi para murid-Nya, pria dan wanita untuk mengikuti teladan-Nya menyerahkan hidup bagii sesama dengan motivasi cinta kasih.

Dalam hal refleksi, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Choan Seng Song menyetujui bahwa konsep dialog sebagai misi utama semua agama, terutama kekristenan. Mereka mendefinisikan pendekatan mereka yang dialogis ialah, membiarkan pembahasan teologi kita dipengaruhi teologi agama lain sehingga kita terpaksa semakin jujur dan lebih memperdalam rohani kita. Song dan Panikkar setuju bahwa dialog adalah perjumpaan yang sejati dengan kepercayaan maupun ideologi orang lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah dipelajari. Dan Song mengusulkan adanya pertobatan dialogis, yaitu berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra-mitra dialog. Di samping itu, Samartha juga berpendapat bahwa seorang Kristen harus mendekati dialog atas dasar Teosentris dan Kristosentris. Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang Kristen untuk berani berdialog. Sebab menurut Panikkar, melalui dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran Kristus yang universal bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran. Melalui dialog akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran Ilahi. Dalam hal ini, Song menyetujui bahwa dialog ialah perjumpaan yang sejati dengan ideologi dan kepercayaan orang lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran. Dalam dialog kehidupan  ini, orang Kristen (baca: gereja) dan penganut agama-agama lain perlu menghayati ideal yang paling tinggi dari iman mereka masing-masing di hadapan satu sama lain. Melalui dialog kehidupan ini, kaum beriman dari agama yang berbeda-beda bersaksi di hadapan satu sama lain untuk hidup menurut nilai-nilai itu dengan maksud untuk membangun suatu masyarakat yang lebih damai dan bersaudara.  Sebab dialog bisa murni, jika saling menerima yang lain sebagaimana adanya, karena tujuannya bukanlah menambahkan jumlah institusi. Melalui dialog tersebut orang Kristen dapat mengakui bahwa anugerah Allah ditawarkan kepada seluruh umat manusia dan bahwa keanggotaan yang nyata dalam gereja yang kelihatan bukan merupakan prasyarat bagi keselamatan sedikit-banyaknya akan menolong dialog antar umat beragama menjadi lebih netral dan terlebih lagi dalam pelayanan demi pembebasan manusia secara integral.

Gereja Sebagai Wadah Penyelamatan

Di dalam Amanat Agung yang tertulis dalam Markus 16:15-16, memperlihatkan betapa pentingnya penyelamatan manusia. Tuhan memberikan tugas kepada gereja-Nya untuk menjadi wadah penyelamatan bagi setiap manusia yang dilahirkan ke dalam dunia ini. Setiap anggota gereja harus sungguh-sungguh paham akan kehendak kepada gereja. Tujuan utamanya mendirikan gereja adalah agar setelah Ia kembali ke sorga, masih ada sebuah wadah penyelamatan dan pewartaan kebenaran di dunia ini. Oleh sebab itu, gereja harus berusaha keras memberitakan Injil keselamatan.

Demi menyelamatkan umat manusia seluruhnya, Allah memilih satu bangsa, yakni bangsa Israel. Dengan melihat Israel, bangsa-bangsa lain dapat mengetahui apakah maksud Allah yang sebenarnya dengan manusia. Dengan hidup sesuai dengan maksud Allah itu mereka dapat kembali kepada Allah Israel yang adalah juga Allah segala bangsa. Allah menyatakan maksud-Nya dengan manusia itu melalui tindakan-Nya dengan Israel, khususnya melalui perjanjian yang diikat-Nya dengan Israel, melalui pembebasan Israel dari perbudakannya di Mesir dan melalui pemberian Taurat di Gunung Sinai. Taurat itu merupakan pernyataan dari kehendak Allah untuk Israel, supaya umat-Nya tahu bagaimana caranya ia mengatur hidupnya di dunia ini sebagai umat Allah.

Sejarah PL adalah sejarah jatuh bangun umat Allah yang lama. Israel sering murtad dan dihukum Tuhan, lalu bertobat dan diselamatkan oleh-Nya. Kemudian Israel kembali murtad dan kembali dihukum dan seterusnya. Akhirnya harus dikatakan bahwa bangsa Israel sebagai keseluruhan, yang mewakili bangsa-bangsa lain dan seluruh umat manusia, gagal memenuhi tugas dan panggilan yang dipercayakan Allah kepadanya. Tetapi kegagalan Israel itu tidak berarti bahwa bagi manusia tidak ada harapan lagi. Kegagalan tersebut tidak dapat menghalangi maksud dan rencana Allah dengan umat manusia. Melalui “sisa yang suci”, yakni pribadi-pribadi dalam umat Israel yang setia melakukan pekerjaan Allah (bnd. Yes. 10:20-27; 11:11-16), Allah mempersiapkan umat manusia untuk menerima Putera Allah sendiri, Firman Allah yang menjelma menjadi manusia. 

Sejak dulu sebagian orang Kristen cenderung memahami bahwa  umat PL adalah bangsa Israel dan umat PB adalah gereja. Sesudah zaman gereja orang Yahudi tidak lagi otomatis sebagai umat Allah kecuali mereka berpaling kepada Yesus. Juga dengan digenapinya segenap janji Allah di dalam Kristus peran bangsa Israel dalam sejarah keselamatan dengan sendirinya sudah selesai dan selanjutnya yang berperan adalah gereja. Gereja meneruskan sekaligus mengganti posisi Israel menjadi “Israel baru”.  Dengan artian bahwa gereja adalah ciptaan baru meskipun tidak sama sekali baru, tetapi merupakan kelanjutan dari sebelumnya, sekalipun umat Kristen berbeda dari umat PL, melanjutkan rencana keselamatan Allah dalam sejarah bersama-sama dengan mereka. Gereja sebagai tubuh Kristus itu telah berdiri, tumbuh dan berkembang. Ia juga mewartakan kepercayaannya bahwa “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr. 13:8). Dan “keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis. 4:12) dan berkeyakinan juga kabar ini harus diberitakan sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8) dan sampai akhir zaman (Mat. 28:20) serta kepada segala makhluk (Mrk. 16:15). Inilah amanah. Tentang hal ini Groenen menuliskan masalah yang berkaitan dengan amanah ini. Ia menegaskan di satu sisi kalau Yesus yang diberitakan itu “harus tidak berubah sampai selama-lamanya”, bukankah di sisi lain “yang memberitakan itu” pasti berubah? Groenen menjelaskan bahwa “dunia” ini tidak sama di mana-mana, makhluk-makhluknya berbeda-beda dan zaman silih berganti zaman. Dan akibatnya ialah: Yesus Kristus dan iman kepercayaan Kristen kepadanya tidak dapat tidak dikonseptualkan dan dibahasakan dengan cara yang berbeda-beda, supaya Yesus Kristus yang sama dapat diwartakan sehingga pewartaan itu benar-benar sampai kepada manusia yang berbeda-beda. Prinsipnya, apa yang diwartakan adalah Yesus yang tetap sama tidak diubah atau diganti. 

Gereja dan umat Israel bersama-sama memainkan peranan penting dalam menggenapi rencana keselamatan Allah untuk dunia. Dalam rangka itu, Paulus tidak menutup kemungkinan bahwa Allah berkuasa membuat bangsa Israel bertobat dan mencangkokkan mereka kembali (Rm. 11:23-24; bnd. Hos. 14:5-8). Berdasarkan kesetiaan Allah yang telah teruji, Paulus yakin bahwa Allah mestinya lebih mudah mencangkok mereka kembali, menerima mereka kembali, di tempat mereka semula ketimbang menerima bangsa-bangsa lain. namun, syarat pencangkokan kembali tetap satu, yakni percaya (Rm. 11:23). Percaya atau iman adalah jati diri umat Allah yang tidak bisa ditawar-tawar. 

Penegasan peranan gereja sebagai sakramen keselamatan memaksudkan bahwa Yesus Kristus mempunyai peran sentral bukan gereja. Artinya bahwa Kristuslah yang mewariskan karya keselamatan  kepada gereja. Sejauh mana atau bagaimana gereja dapat menjadi tanda sekaligus sarana keselamatan tidak mungkin dipahami tanpa keterikatan dan ketergantungannya kepada Kristus. Sebab Kristus adalah sabda yang menerangi setiap pribadi, karena di dalam Dia dinyatakan sekaligus rahasia Tuhan dan rahasia umat. Ia adalah penebus yang hadir di dalam setiap pertemuan manusiawi dengan rahmat, untuk membebaskan manusia dari sifat egoisme dan membuat manusia saling mengasihi seperti Ia telah mengasihi umat manusia. Pandangan yang menekankan Kristus sebagai sumber keterlibatan gereja dalam dialog ini merupakan penegasan bahwa sentrum dialog bukanlah gereja melainkan Kristus. Gereja tidak berdialog dari dirinya sendiri, melainkan bertolak dari kekuatan dan inspirasi pribadi Kristus sendiri. Pengertian ini menandaskan pula Kristus sebagai model sikap dialogal gereja. Artinya bahwa dalam mewujudkan sikap dialogalnya gereja tidak mempunyai teladan dan acuan yang lain kecuali pribadi Kristus sendiri. Dalam diri Kristus terungkap segala sikap inklusif dan dialogal yang menemukan kesempurnaannya dalam salib dan kematian-Nya sebagai puncak penebusan universal. 

Agama-Agama Adalah Pembawa Perdamaian

Kerajaan Allah merupakan sasaran utama misi dan dengan kesejahteraan ciptaan sebagai cita-cita misi yang sangat khusus, para misionaris Kristen menemukan cara memandang agama-agama lain harus diperbaiki. Artinya bahwa penataan kembali ini lebih dari pada sekedar perubahan visi yang terjadi, khususnya dalam teologi Katolik Roma sejak Vatikan II, yakni dari memandang agama-agama lain sebagai “pekerjaan setan” yang harus dimusnahkan ke pendekatan terhadap agama-agama lain sebagai “jalan keselamatan” (viae salutis) yang mungkin, yang dapat diakui sebagai sarana “sah” rahmat yang menyelamatkan. Dalam pandangan mengenai misi dan gereja yang orientasinya berpusat pada kerajaan Allah, agama-agama lain tidak hanya merupakan “jalan keselamatan” tetapi secara lebih tepat dan secara lebih menarik merupakan “jalan kerajaan Allah”. Teologi mengenai agama-agama semacam itu, yang memungkinkan umat Kristen menganggap agama-agama lain sebagai suatu jalan yang “nyata-nyata dikehendaki Allah” dan sebagai “sakramen” bagi para pengikut-Nya sebagaimana gereja merupakan sakramen bagi umat Kristen, akhir-akhir ini mendapatkan peneguhan yang sangat kuat dari ajaran resmi gereja Katolik Roma. Sekalipun teologi mengenai agama-agama yang positif semacam itu telah menjadi pandangan umum di antara para teolog Katolik dan Protestan sejak tahun 70-an, masih ada banyak perdebatan teologis mengenai apakah Konsili Vatikan II sedemikian jauh mendukung suatu teologi yang menyatakan agama-agama lain sebagai sakramen keselamatan. Kendati dinyatakan secara jelas bahwa keselamatan tersedia bagi semua orang di luar gereja, konsili tidak sampai pada pernyataan bahwa keselamatan semacam itu hadir melalui agama-agama lain. 

Akan tetapi, dalam eklesiologi yang berpusat pada kerajaan Allah, mengakui bahwa agama-agama sebagai pelaku rahmat yang menyelamatkan berarti meneguhkannya sebagai pelaku kerajaan kesejahteraan. Hal ini terdapat dalam teologi yang menopang pernyataan Vatikan dan pandangan Kristen pada masa kini – terutama teologi Karl Rahner. Sebab argumen Rahner meyakinkan bahwa rencana keselamatan dan rahmat Allah yang menyelamatkan bekerja bukan karena beragama lain melainkan melalui agama-agama lain, bukan di luar melainkan di dalam kepercayaan dan praktek keagamaan mereka, dalam kata lain berarti juga mengakui.  Sebab rahmat merupakan suatu daya yang mengubah hati manusia. Dalam hal ini juga, teolog pembebasan dan umat Kristen dunia ketiga telah membantu umat Kristen seluruh dunia untuk mengakui bahwa rahmat hadir dalam kuasa-Nya yang penuh hanya apabila rahmat itu membangun suatu dunia baru, dunia kasih dan keadilan, bagi dunia ketidakadilan dan penindasan. Karena itu, di mana pun ada rahmat, di situ kerajaan Allah hadir. Apabila umat Kristen menganggap agama-agama lain sebagai sarana rahmat, mereka harus memandangnya sebagai rekan sekerja bagi kerajaan Allah.

Tentu saja, pengakuan ini tidak mengingkari realitas yang sangat jelas dan buruk bahwa agama-agama sering kali dan masih merupakan penghalang bagi kesejahteraan umat manusia; agama-agama berfungsi sebagai candu bagi kaum tertindas atau sebagai alat ideologis bagi penindas. Kenyataan ini berlaku baik bagi agama Kristen maupun bagi agama-agama lain. Mengakui realitas dosa tersebut sama sekali tidak menghapuskan realitas rahmat. Sebagaimana Augustinus  berpendapat melawan kaum Donatis, rahmat  dapat juga memancar melalui situasi dosa. Kerajaan Allah dapat dibangun dengan alat yang tidak sempurna. Seperti Gereja Kristen, dan agama-agama dunia dapat merupakan simul justus et peccator, sekaligus berdosa dan dibenarkan, sekaligus halangan bagi dan alat dari kerajaan Allah.

Ini berarti bahwa dalam memandang orang-orang dari agama-agama lain sebagai pelaku potensial kerajaan Allah, umat Kristen tidak mencoba “memasukkan” mereka dalam rencana dan misi yang sudah ditetapkan secara jelas dan definit. Kendati umat Kristen merasa bahwa mereka mempunyai usaha yang menentukan dan bermakna universal mengenai apa yang termasuk dalam kerajaan Allah, mereka juga harus mengakui bahwa dapat ada kontribusi yang berarti, penting dan menentukan pada perwujudan yang lebih besar melalui cara baru dalam menjadi manusia dan dalam hidup bersama.  Oleh sebab itu, apabila umat Kristen memandang umat lain sebagai pelaku kerajaan Allah, mereka tidak memandang yang lain sebagai pembantu tetapi sebagai rekan kerja. Sebab Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana keselamatan Allah sudah ada sejak awal penciptaan, sebab penciptaan sendiri merupakan pencetusan awal keselamatan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, janji keselamatan Allah kepada semua manusia diwartakan. Janji keselamatan Allah terpenuhi dalam diri Kristus, Allah Putera yang menjelma menjadi manusia. Keselamatan-Nya di salib menuntaskan karya penyelamatan Allah kepada manusia. Yesus Kristus mati di salib sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim. 2:3-7). Maka Kristus adalah penebus dan penyelamat bagi semua orang (Kis. 2:38; 4:12; 10:43).

Dalam hal ini, Agustinus menyebut bahwa Yesus adalah bagi semua orang. Karena penebusan Kristus merupakan penebusan universal, kepada semua orang. Maka semua orang dipanggil kepada keselamatan. Panggilan universal kepada keselamatan ini merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada semua orang. Tidak ada manusia yang ditentukan oleh Allah untuk tidak selamat. Penebusan Kristus yang universal memaksudkan pula kedudukan Kristus sebagai sentrum keselamatan manusia.  Dengan kata lain, keselamatan manusia tidak dapat dipahami tanpa keterkaitannya dengan Kristus yang mati di kayu salib bagi semua orang. Manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Manusia hanya dapat menjawab dan menanggapi panggilan keselamatan Allah. Jawaban manusia ini disebut iman, tetapi iman selalu merupakan inisiatif Allah dan bukan manusia. Sebab Roh Kudus berkarya dalam hati setiap manusia, mengarahkannya kepada Allah.


KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

  1. Universalitas ialah sifat atau keadaan  atau hal bersifat menyeluruh atau secara umum. Sehingga universalitas dapat dikatakan sebagai keadaan pendekatan yang menekankan kasih kepada sesama manusia selain kasih kepada Allah. Kasih kepada manusia adalah esensial karena hal itu adalah suatu pemikiran yang mengandung unsur revolusioner dan bersifat murni keagamaan. Artinya bahwa kasih kepada manusia akan merembes secara universal ke dalam masyarakat serta mempengaruhi kehidupan komunitas manusia, kebudayaan bahkan keluarga yaitu unit terkecil dari populasi.
  2. Dalam hal keselamatan Yesus Kristus, keselamatan diberikan kepada manusia. Yesus dibangkitkan sebagai yang sulung, permulaan dari proses penyelamatan yang meliputi dunia seluruhnya (bnd. 1 Kor. 15:20-23; Kol. 1:18). Kebangkitan Yesus merupakan permulaan keselamatan umat manusia. Dalam Yesus, Allah telah menerima umat manusia kembali, “memberkatinya dengan segala berkat rohani” (Ef. 1:3), “menguduskannya” (1 Kor. 1:2). Kemuliaan yang telah mulai dengan kebangkitan Yesus itu diperuntukkan Allah bagi manusia dan bagi dunia. Dan dapat dikatakan bahwa kebangkitan Yesus adalah jaminan masa depan manusia. Keselamatan Yesus bersifat universal ialah sebagai perwujudan cinta kasih Allah. Sehingga keselamatan tidak dapat diartikan semata-mata hanya bersifat spiritual, vertikal dan “seberang sana”. Sebab keselamatan bersifat menyeluruh, holistik, meliputi rohani maupun jasmani, vertikal maupun horizontal. Keselamatan diwartakan dan sementara itu yang mewartakan secara konkret juga melakukan tindakan-tindakan sosial. Sehingga dalam hal keselamatan, Yesus Kristus tidak membatasi bagi siapa saja yang datang kepada-Nya, dan tidak ada membeda-bedakan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sebab keselamatan yang Yesus Kristus berikan ialah keselamatan universal kepada semua orang.
  3. Pemahaman agama-agama lain tentang keselamatan berbeda-beda. Seperti halnya agama Yahudi, konsep keselamatan menurut agama ini ialah, mereka selalu menunggu kedatangan Mesias yang akan menjadi Ratu Adil bagi kehidupan mereka. Dan mereka tidak mengakui bahwa keselamatan terdapat dari manusia biasa yang mengalami kematian. Lain halnya dengan agama Islam, dalam ajaran mereka keselamatan bagi seorang muslim adalah mengikuti perintah-perintah Allah dan teladan Rasul, serta menaati hukum. Muslim hendaknya melaksanakan imannya dengan menjalankan pujaan (doa ritual, Ramadhan, ziarah) dengan memperhatikan kaum miskin. Dalam agama Hindu keselamatan ditentukan oleh kodrat kejahatan dari mana pembebasan mau diperoleh. Untuk melawan tindakan yang merugikan cara yang semestinya adalah berbuat baik dan menghindari yang jahat. Sebab perbuatan yang baik akan mendapat ganjaran yang baik, dan perbuatan yang buruk akan mendapat ganjaran yang buruk. Tetapi pahala kebahagiaan itu tidak selalu dapat segera dirasakan atau dinikmati, begitu pula setiap perbuatan itu akan meningggalkan bekas yang nyata atau yang tidak nyata. Selanjutnya dalam agama Buddha, kunci untuk mencapai keselamatan ialah kesucian batin dan pengertian yang benar sehingga dapat mencapai nirwana, terlepas dari roda samsara (penderitaan). Sebab agama Buddha menolak gagasan bahwa manusia dapat memperoleh keselamatan dengan bergantung pada kekuasaan eksternal (di luar diri). Dalam kaitan keselamatan Yesus dalam agama-agama tersebut, penulis melihat bahwa Yesus Kristuslah yang menjadi pusat penyelamatan itu. Gambaran Kristus yang telah mengosongkan diri dan merendahkan diri-Nya ini bukan hanya pura-pura menjadi manusia atau menjadi manusia secara kulit saja. Melainkan Kristus yang demikian benar-benar memasuki kondisi kemanusiaan, yang benar-benar hadir bersama manusia yang terpinggirkan dan tersisih untuk melakukan penebusan dan pembebasan manusia. Kristus yang telah berinkarnasi ini sebagai hikmat penebusan Allah yang menerima kondisi perhambaan bagi diri-Nya, menebus manusia serta memulihkan kosmos di bawah kemenangan-Nya sebagai Tuhan penebus.
  4. Dalam keselamatan Yesus yang universal, agama-agama lain tidak mengakui bahwa Yesus sebagai pusat keselamatan itu. Bahkan agama lain cenderung menyamakan posisi Yesus sebagai manusia yang luarbiasa. Misalnya dalam agama Islam yang cenderung menyamakan Yesus sebagai Nabi Isa. Dengan kata lain, bahwa seorang nabi tidak mungkin dapat menyelamatkan manusia, karena yang dapat menyelamatkan manusia hanyalah Allah SWT. Begitu juga halnya dengan agama-agama lain yang memposisikan Yesus sebagai seorang guru, dokter dan lain sebagainya.
  5. Makna keselamatan yang hendak dibangun ialah dalam hal solidaritas. Yesus mengajak orang untuk masuk dalam pengalaman solidaritas dengan umat manusia, pengalaman yang tidak eksklusif, pengalaman yang tidak tergantung pada tukar-menukar karena mencakup juga mereka yang membenci, menganiaya dan memberikan perlakuan yang tidak baik. Yesus terutama menghendaki solidaritas kasih yang sama sekali tidak mengesampingkan siapapun. Dalam hal keselamatan Yesus menginginkan agar semua manusia diselamatkan. Yesus Kristus mewartakan nilai-nilai ilahi dan insan yang merangkul setiap orang dan setiap kelompok manusia dengan menyingkirkan pola pikir dan pola hidup yang saling memisahkan. Praktik “liyanisasi” atau “marginalisasi” ini merupakan salah satu praktik negatif yang bertentangan dengan kehendak Allah pencipta. Oleh karena rencana keselamatan Allah itu untuk semua. Keselamatan itu pada intinya merupakan rangkulan persaudaraan dalam Allah, karena Allah adalah Bapa bagi setiap orang dan segala makhluk. Dengan inkarnasi sabda Allah, pertama-tama telah terjembatani wilayah ilahi dengan wilayah duniawi. Manusia ditarik kembali untuk membangun relasi intim dengan Allah dan dengan demikian dunia ini ditata kembali menurut tata ilahi. Dengan misteri inkarnasi ini pula Allah sendiri telah membongkar blockade pola pikir dan pola hidup eksklusif yang telah dibentuk manusia bagi dirinya sendiri. Terpisah dari Allah yang berarti hilangnya firdaus, begitulah tradisi Bapa-Bapa Gereja Yunani menyebutnya. Keselamatan berarti kembalinya firdaus yang hilang. Langkah-langkah perwujudannya adalah lewat pendidikan (paideia). Yesus Kristus telah datang untuk proses pendidikan itu, yang intinya adalah restrukturisasi tata batin manusia yang memungkinkan terbukanya jalan masuk bagi manusia kepada Allah. Dengan kata lain, Allah tidak “memaksakan” keselamatan itu kepada manusia melainkan menawarkannya dengan jalan mengajak dan mengundang manusia mengikuti jalan Kristus. Sehingga dalam hal keselamatan, Yesus Kristus tidak membatasi bagi siapa saja yang datang kepada-Nya, dan tidak ada membeda-bedakan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sebab keselamatan yang Yesus Kristus berikan ialah keselamatan universal kepada semua orang.

Komentar

Popular Posts

KHOTBAH MINGGU 17 NOVEMBER 2024, MATIUS 24: 9-14, ORANG YANG BERTAHAN SAMPAI AKHIR AKAN SELAMAT

KHOTBAH MINGGU 3 NOVEMBER 2024, MARKUS 12: 28-34, MENGASIHI TUHAN ALLAH DAN SESAMA MANUSIA

KHOTBAH MINGGU 24 NOVEMBER 2024, DANIEL 7: 9 - 14, KEKUASAAN DAN KERAJAAN ALLAH TIDAK AKAN LENYAP